Saya adalah salah satu manusia yang gelisah dan suka bertanya. Kadang saya juga sebal karena saya belum bisa tenang kalau pertanyaan-pertanyaan saya belum terjawab. Jadinya saya suka membabi-buta bertanya-tanya. Pernah juga disangka naksir dosen gara-gara kebanyakan nanya pas kelas beliau.
Kegelisahan saya jelas berbeda dengan Soe Hok Gie yang kegelisahannya menyangkut masalah bangsa, negara dan kemanusiaan. Kebanyakan, pertanyaan yang nyangkut di kepala saya ialah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sama sekali tidak tidak penting bagi masa depan umat manusia, misalnya nama tengah salah satu dosen. See... Ngga penting banget kan? Tapi saya menyempat-nyempatkan diri buat nanya ke anaknya si bapak dosen tersebut. Habis penasaran sekali. Kebutuhan untuk mencari jawaban ini sangat mendesak demi ketenangan hidup saya.
Berhubung tiba-tiba saja blog saya ini makin populer (iya, nyadar sih belum seterkenal punyanya si Raditya Dika atau Pocongg), saya berniat untuk mem-publish beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut di blog ini. Lumayan, untuk mengurangi beban otak siapa tahu saya terlupa atau pertanyaan-pertanyaan itu bisa menjadi pemantik diskusi dengan teman.
Beberapa pertanyaan yang mampir di kepala saya sampai sekarang diantaranya :
1. Kenapa usaha budidaya burung dan penjualan burung didominasi oleh laki-laki? Berdasarkan observasi dua kali di Pasar Burung Sukahaji, Bandung, sebagian besar penjual burung di sana didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya mengisi sebagian kecil kios yang rata-rata berjualan pakan burung, makanan, atau kelontong. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh teman-teman sekelas saya, dari 70 pembudidaya burung di Bandung dan sekitarnya, hanya ditemukan dua orang perempuan pembudidaya burung. Itu pun salah satu diantaranya hanya berperan sebagai penanam modal dan tidak terlibat langsung dengan upaya budidaya burung. Kenapa usaha burung didominasi laki-laki? Kenapa perempuan tidak tertarik dengan peluang bisnis ini?
Asumsi jawaban :
Saya tidak tahu. Sungguh. Saya juga agak malas sih kalau harus beternak burung. Buat apa sih burung? Mending nernak ayam. Tapi ini jawaban pribadi lho. Ngga tahu dengan para perempuan di luar sana.
Menurut salah seorang teman di kelas, usaha burung cenderung dilakukan oleh para laki-laki karena hubungannya dengan status. Usaha burung cenderung dianggap memiliki status lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pencari kodok atau buruh. Masuk akal sih.
Kalau ini ada hubungannya dengan status, kenapa usaha ini tidak dilirik oleh para perempuan sebagai peluang usaha yang menjanjikan (keuntungannya cukup besar lho)? Perempuan kan juga butuh status. Atau perempuan memang tidak perlu status? Ada apa sebenarnya dengan burung atau STATUS (bagi perempuan)?
--> Tambah pusing, pertanyaannya jadi beranak pinak gini.
3. Serial Si Manis Jembatan Ancol dan sejenisnya rata-rata bercerita tentang seorang korban (biasanya perempuan) yang dianiaya dan dibunuh oleh sekelompok preman. Lalu si korban tersebut menjadi hantu dan berteman dengan Si Manis Jembatan Ancol and the gang. Kelompok tersebut pada akhirnya balas dendam pada si pelaku. Kemudian si pelaku ikutan mati.
Pertanyaan saya, lha kenapa si penjahat itu ngga ikutan jadi hantu? Bisa aja kan, hantu si pelaku jadi berteman juga dengan para preman di dunia hantu dan gantian balas dendam sama Si Manis Jembatan Ancol and the gang. Kenapa ngga diceritain?
Asumsi jawaban :
Mungkin sutradara dan penulis skenario-nya menghindari hal-hal yang terlalu rumit. Jadi ceritanya berakhir begitu si penjahat tewas. Bisa jadi juga kalau dilanjutkan dengan si penjahat berkawan dengan preman dunia hantu dan gantian balas dendam, maka ceritanya bisa menjadi panjang. Bakalan jadi beberapa seasons. Ngga tahu dech.
3 comments
Pertanyaan saya:
BalasHapusItu dari nomor satu kenapa langsung loncat ke tiga? ke manakah nomor duanya?
Asumsi Jawaban:
Hanya Tuhan dan Kiki yang tahu :)
Oh iya lupa. Nomor duanya tidak lolos sensor. Jadi batal tayang. Lalu saya lupa mengganti nomor tiga jadi dua. : )
HapusPertanyaan nomor dua: di Bandung ada Jalan Ibu Inggit Ganarsih. Lha kenapa harus pake 'ibu'? Kenapa jalan yang lain ngga pake embel2 bapak atau ibu?
Hapusmisalnya Jalan Kartini. Kenapa pas Jalan Ibu Inggit Ganarsih harus pake status 'ibu' di bagian depan?
FYI, Ngga lolos sensor soale aku lupa jalan kartini di Bandung itu pake RA atau ngga? Cuma ingat ada sup ayam yang enak banget di jalan itu.