Valley of Flowers, Himalaya, Tibet (source : here)
Sepanjang perjalanan, ada kalanya aku kelelahan, kepayahan, dan kehausan. Tapi aku tak pernah takut. Ada banyak teman di sisiku. Saat lapar, kami akan memasak bersama, memancing ikan atau memetik buah bersama. Bahkan saat jalanan terlalu menanjak dan curam, kami akan saling berpegangan. Dalam pekatnya hutan belantara, kami akan saling menjaga. Kami saling berbagi di saat mendung, hujan, badai, atau terik. Kami akan berlarian kecil di jalan saat rintik hujan. Beristirahat di bawah pohon besar, menikmati semilir angin saat matahari menyengat hanya untuk saling melihat bahwa semuanya baik-baik saja.
Meski banyak teman, ada kalanya kita berpisah di jalan yang bercabang. Aku sendirian. Dalam pekatnya malam aku merenung, memikirkan jalan mana lagi yang akan dilalui. Apakah ini jalan yang benar? Bagaimanakah akhir perjalanan ini? Kesendirian membuat aku berfikir dan memahami sekelilingku lebih baik. Namun aku juga merindukan sahabat. Jika kesendirian membuat aku paham, maka kehadiran sahabat adalah realisasi pemahaman itu. Bersama sahabatlah angan diwujudkan.
Bukan hanya sahabat. Pejalan dengan langkah kecil ini juga berhutang banyak, banyak sekali pada penduduk di sekitar jalan yang dilewatinya. Banyak bantuan dari orang-orang yang mungkin tidak akan pernah aku temui lagi. Aku dan mereka hanya bersisian jalan di waktu ini. Di tempat ini saja. Tidak ada kesempatan lainnya. Tapi bantuan selalu ada. Dari daun-daun yang merindangi jalan. Buah-buah yang turut menentramkan perut. Air jernih yang mengusir dahaga. Udara yang selalu tersedia. Juga tanah tempat kaki berpijak. Semua menawarkan bantuannya. Entah bagaimana aku membalas semua ini. Termasuk pencipta semua ini, yang menjaga semuanya ada pada waktunya untukku, hanya untukku.
Kadang jalan yang aku lewati terlalu indah untuk ditinggalkan. Danau dengan hamparan rumput menghijau di sekelilingnya. Ada banyak buah-buahan di sini. Langit terlalu agung untuk diabaikan. Gunung yang menjulang kehijauan. Angin semilir. Membuatku ingin terlelap. Menikmati belaian angin, tarian dedaunan, sejuknya air, dan wanginya rumput esok hari. Namun perjalanan tidak usai di sini. Perjalanan akan tetap berlanjut. Menuju tempat pemberhentian terakhir. Ada kereta yang harus dikejar.
Seberapa jauhnya aku melangkah, rasanya tak ingin melupakan semuanya. Hasrat mata, telinga, kulit, lidah, hidung, bahkan hati ingin merasakan sebanyak mungkin rangsang yang muncul dijalan ini. Merekam semuanya dalam otak. Menciptakan sambungan sinapsis baru yang kian ruwet. Namun kemampuan ini terbatas. Seberapa keras aku merekam semua, selalu ada yang terlewat. Ini hanya jalan. Ada perhentian akhir. Entah di mana.
Namun, jalan ini lah yang mendewasakan aku. Dia mengajarkan banyak hal. Meski dia seolah hanya terhampar mendatar, setiap jejak kakiku terekam di atasnya. Tanahnya basah akan peluh dan air mataku. Semuanya ada dan nyata. Suatu hari, entah kapan, dia dapat menjadi saksi bahwa aku pernah berjuang di atasnya. Dia adalah saksi kekuatanku. Dan juga kelemahanku.
Entah bagaimana akhir perjalanan ini. Aku hanya melangkah. Melangkah. Dan terus melangkah. Berpegangan tangan sahabat. Berterima kasih pada semua yang berbaik hati di tengah jalan. Menikmati semua keindahan yang ada. Mengingat tempat kembali yang kurindukan. Serta mengarahkan pikiran ke ujung jalan ini, tempat di mana semua ini akan menuju, dan akhir dari perjalanan ini. Juga pencarianku.
Aku berbahagia atas semua langkah yang sudah aku ayunkan sampai detik ini.
Yogyakarta, 9 Desember 2009 jam 21.47
NB : Tulisan lama yang jadi pengingat kalau saya pernah berbahagia sekali, satu saat (padahal sebenere g kreatif dan g ada ide).
0 comments