Apakah saya layak mendapatkan kesempatan kedua? Apakah akan ada kesempatan ketiga jika kesempatan kedua pun saya gagal? Bagaimana mendapatkan kesempatan kedua atau ketiga?
Semua pertanyaan itu memenuhi otak saya akhir-akhir ini. Saya jadi ingat beberapa bulan lalu, adek saya membawa pulang dua kardus roti pulang hajatan di rumah temannya di Semarang. Adek saya bilang bahwa itu roti dari toko roti paling terkenal di Semarang. Rotinya memang enak sih, tapi bukan itu yang berkesan. Bentuk rotinya melingkar dengan beraneka rasa di dalamnya, seperti pisang keju, coklat, keju, daging ayam, fla, strawberry, dan kacang. Waktu itu, kami makan berempat; saya, ibuk, dan dua adek. Awalnya, saya ambil satu sisir, saya kebagian rasa pisang keju, favorit saya. Adek kebagian rasa coklat, favorit dia juga. Adek terkecil dapat rasa kacang. Makannya harus hati-hati karena kacangnya lumayan besar, jadi harus disuapi dan dibagi dengan ibuk. Sewaktu ambil bagian kedua, saya dapat roti isi daging, saya tidak suka. Untuk saya yang kampungan, agak aneh makan roti dengan daging. Harusnya makan daging ya dengan nasi. Akhirnya saya kasih ke adek. Saya ambil bagian kedua lagi, saya dapat keju. Voila. Adek terkecil dapat bagian isi fla. Dia juga suka.
Hari itu, roti pertama habis. Hari kedua, ketika akan makan roti kedua, saya harus menunggu semua orang berkumpul. Roti itu tidak bisa dimakan sendiri. Saya sudah menghafal urutannya, tapi tetap saja takut salah jika saya ambil roti isi daging atau coklat yang jadi favorit adek saya atau isi kacang kesukaan ibuk. Mau makan roti saja harus menunggu semua berkumpul. Begitu berkumpul dan mulai membagi roti, kami keliru. Saya dapat roti isi daging, adek dapat roti kacang, dan ibuk dapat roti isi keju. Ibuk tidak suka keju. Yah, kami harus tukar-menukar roti. Padahal urutan isiannya tidak berubah. Kami saja yang keliru. Untuk pembagian roti babak dua, kami sudah hafal urutannya.
Nah, itu roti. Kami punya dua kesempatan. Sewaktu selesai makan roti yang kedua, saya yakin sekali hafal urutannya. Tapi rotinya habis. Saya tidak punya kesempatan ketiga untuk membuktikan bahwa saya sudah hafal urutannya. :))
Lalu bagaimana dengan hidup? Saya tuh ngerasa, saya berkali-kali dikasih kesempatan kedua, bahkan ketiga. Tapi ya kadang yang saya pelajari dikit sekali. Kemajuan saya lambat sekali. Saya masih bingung, tidak yakin, dan masih berharap dapat kesempatan lain lagi; yang ketiga, keempat, dan selanjutnya. Kadang ya marah ke diri sendiri juga, kok kayaknya saya ngga belajar-belajar ya. Saya cuma takut jika kesempatan ketiga itu ngga pernah ada. Saya sudah mengacaukan yang dua sebelumnya, kan? Semoga saja masih ada kesempatan untuk saya.
0 comments