Hari
Minggu kemarin aku melihatmu, wahai wajah kematian. Dalam wujud seorang lelaki
berusia sekitar dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun. Mengenakan jaket
hitam dengan celana jeans kumal selutut. Bersandal jepit abu-abu kebesaran.
Memanggul ransel berwarna hitam pudar.
Aku
tertarik sejak awal pandanganku tertuju padamu. Gemetaran, kau turun dari
angkot. Memberikan tempat dudukmu pada kami, orang-orang yang tidak kau kenal.
Bahkan mungkin enggan bersua engkau. Kami menolak niatmu. Kami memilih menunggu
kendaraan berikutnya. Sopir yang emosi bergegas memacu angkotnya. Engkau
tertinggal. Jadi lah engkau menunggu bersama kami.
Aku
memerhatikanmu. Kau sangat lah biasa. Tapi kau membuatku tidak mampu
mengalihkan pandang darimu. Tubuhmu tremor. Setiap gerakmu terasa janggal.
Entah karena tas yang kau panggul terlalu berat atau tubuhmu yang ringkih. Susah payah, kau menaikan tas itu ke punggung
kecilmu yang sedikit bungkuk. Terasa ada yang salah dengan fisiologis tubuhmu.
Tulang kakimu sangat lah kecil. Bukan! Kau sangat kurus. Tubuhmu seperti hanya
tulang berbalut kulit. Kau serupa anak-anak Ethiopia yang menderita kelaparan.
Apakah kau gemetar karena tidak makan?
Kaki
dan tanganmu penuh dengan borok dan goresan luka. Beberapa masih bernanah. Dari
bekas luka yang kering, aku menerka luka-luka apa saja yang tertatah di
kulitmu. Ada luka sabetan di punggung telapak tangan. Ada luka bekas borok di
telapak kaki. Bekas luka, entah apa di sepanjang kakimu.
Sesekali,
aku melirik ke arah wajahmu. Tuhan, kau sangat pucat. Bibirmu kering. Di
beberapa bagian terlihat mengelupas. Mata itu, mata menunduk yang sayu. Sorot
mata yang kau coba sembunyikan entah di mana. Bagiku, kau seumpama karakter
dalam cerpen-cerpen Idrus yang menyeruak keluar ke dunia nyata. Atau mungkin
aku yang masuk ke dalam dunia cerita. Aku tidak tahu.
Apa
yang ada dalam ransel yang kau jinjing? Kau seperti menggotong arca emas mini
dalam pundakmu. Semua gerakan tubuhmu serasa tidak proporsional. Kau
terseok-seok menaiki angkot. Kau juga hampir terjatuh saat mencoba duduk di
angkot. Semua mata menjauh darimu. Semua tubuh bergeser. Tak ingin dilihat dan
didekati olehmu.
Kau
seperti dementor yang menyerap aura kebahagiaan penghuni angkot. Tapi toh tidak
semua orang. Aku tersenyum, meskipun juga bukan senyum bahagia, sewaktu kau
berbaik hati menjelaskan jalan kepada kami yang kebingungan. Sayang, tak ada
yang mendengar. Ini adalah dialog antara kami dan sopir angkot. Suaramu hanya
menjadi bunyi-bunyian latar di belakang. Suara-suara latar berlogat ngapak.
Ini menjelaskan asal-usulmu. Seseorang dengan wajah kematian yang
mungkin berasal dari Purwokerto, Tegal, Banyumas, Kebumen, atau sekitarnya.
Sepertinya kau telah lama tinggal di kota ini. Apa yang kau lakukan di sini?
Kenapa tidak kembali saja ke kotamu? Apakah ada yang akan menerimamu di sini? Apa
kau punya teman atau keluarga di sini? Bagaimana kau hidup? Di mana kau
tinggal? Apa pekerjaanmu? Apakah kau sakit? Apa kau sudah makan pagi ini? Di
mana kau akan tidur? Apakah kau sudah mandi hari ini? Apakah wajah pucat dan
bibir kering itu karena dehidrasi? Apa kau akan bisa menyeberang jalan?
Rentetan pertanyaan menggelayut di kepala.
Kau
masih mencoba bersikap ramah sewaktu kami akan turun dari angkot. Apa ini yang
dibilang orang sebagai bentuk pencarian penerimaan olehmu, ketika dunia dan
isinya berupaya keras menampik keberadaanmu. Kau berusaha untuk menjadi ada di
mata orang lain. Ah, mari sederhanakan saja menjadi, kau adalah orang yang baik hati.
Aku
melihatmu turun dari angkot beberapa meter di depan kami. Tersaruk-saruk, kau
memberikan ongkos angkot kepada si sopir. Jarak membuatku tak dapat mendengar
apa yang kau katakan kepada si sopir angkot. Tapi aku tahu pasti, ongkos angkot
yang kau bayarkan kurang. Kau hanya menyiapkan uang dua ribu rupiah. Kurang
lima ratus perak. Tragis. Beberapa jam yang lalu aku melihat banyak orang
menawar sepasang burung dengan harga jutaan rupiah, sekarang, ada orang yang
tak mampu membayar biaya angkot lima ratus perak. Damn!
Aku
berjalan ke arahmu. Aku mau tahu ke mana kau akan pergi. Aku ingin mencoba
apakah aku mampu mengusir aura kematian yang melingkupimu. Aku penasaran
denganmu. Kalau harus masuk ke dalam dunia Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, aku akan masuk dengan senang hati.
Setidaknya, aku bisa membantumu menyeberang jalan.
“Mbak
Kiki, kita naik Damri-nya dari mana?” Dunia nyata rupanya enggan melepasku
pergi. Seperti orang-orang yang lainnya. Aku memalingkan muka darimu. Aku mulai
mencari tahu jalur yang dilalui Damri menuju Braga sambil berharap bisa melupakanmu.
Namun rupanya bayangmu tak mau pergi. Tatapan pucat milikmu menghantui. Dengan
dalih kesehatan mental dan agar aku dapat tidur nyenyak malam itu, aku terus
meyakinkan diri bahwa kau akan baik-baik saja. Kau telah lama hidup di sini,
jadi kau pasti tahu bagaimana beradaptasi. Kau pasti memiliki tempat untuk
pulang, di satu sudut kota ini. Lagi pula, ada Tuhan yang menjagamu dari atas
sana. Yah, kau mungkin memang baik-baik
saja. Tapi aku yang mulai sekarat.
0 comments