Saya lagi jatuh cinta dengan bulutangkis.
Semuanya dimulai awal tahun kemarin. Pada waktu jagain adek, entah kenapa tidak ada acara TV yang bagus. Akhirnya nonton lah pertandingan bulutangkis ganda putera Indonesia. Saya bahkan tidak ingat lagi itu kejuaraan apa. Saya juga lupa siapa lawan mereka. Pada waktu itu, saya kaget. Bulutangkis, memang biasanya secepat ini, ya? Sekuat ini? Siapa dua pemain Indonesia ini? Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto. Siapa mereka?
Saya bukan badminton lovers. Saya cuma nonton pertandingan bulu tangkis kalau ada pemain Indonesia masuk final di Olimpiade, Asian Games, SEA Games, atau Thomas Cup. Saya cuma tahu beberapa nama terkenal pemain bulu tangkis kalau mereka masuk berita.
Dua nama yang asing bagi saya. Tapi mereka kuat dan cepat sekali. Saya pernah nonton drama bulutangkis. Tapi rasa-rasanya, permainan di drama ngga secepat di dunia nyata. Iya sih, yang main aktor, bukan atlet profesional. Tapi mereka pakai CGI. CGI!!! Dan CGI kalah cepat dan kuat dari permainan atlet profesional di dunia nyata! Saya juga pernah baca cerpen tentang bulutangkis. Iya, bahkan imajinasi saya tentang permainan bulutangkis kalah cepat dan kuat dari permainan di dunia nyata. Permainan mereka cepat, kuat, dan indah. Mungkin, karena saya tidak kenal mereka, saya jadi fokus ke permainannya, bukan ke pemainnya.
Minggu kemarin, saya mengikuti pertandingan mereka di All England 2023. Saya sempat mengikuti perjalanan Fajar/Rian dan Ahsan/Setiawan sejak semifinal. Wowww... Saya ngga pernah merasa sebahagia ini nonton bulutangkis. Akhirnya, saya coba cari informasi lebih banyak mengenai mereka.
Saya sudah lama sih dengar tentang the Daddies, tapi ya ngga terlalu peduli juga. Ternyata, Muhammad Ahsan dan Hendra Setiawan ini termasuk legenda bulutangkis dunia. Bahkan, mantan musuh mereka, Lee Yong Dae, ngefans berat sama mereka. Lee Yong Dae pernah bilang, "Aku tuh jarang kalah, kecuali sama mereka ini!" Di review-review youtube-nya, Lee Yong Dae terlihat memuja The Daddies sebagai profesor bulutangkis atau bahkan dewa bulutangkis. Pernah dia bilang dalam review melawan Aaron Chia dan Soh Wooi,"Ini kalau mereka masih muda, mereka akan menang. Sekarang Setiawan lebih bermain dengan otak dibandingkan dengan tubuhnya." Dan mereka masih masuk banyak final turnamen dunia di usia di atas 38 dan 35 tahun.
Favorit saya, Fajar/Rian. Kayaknya mereka kalah populer dari rekan seumurannya, Minions. Waktu Minions jadi ranking satu dunia, Fajar/Rian masih entah di mana. Saya cek di wikipedia, padahal mereka beberapa kali menang turnamen, tapi sepertinya masih kalah jauh dari Minions yang berhasil jadi ranking satu dunia selama beberapa tahun. Setelah pertama kali dibentuk tahun 2014, baru akhir-akhir ini nama Fajar/Rian kian naik. Selama tahun 2022, Lee Yong Dae bilang Fajar/Rian ini ganda putra Indonesia yang bermain paling konsisten. Dan akhirnya, sekarang mereka berhasil jadi ranking satu dunia. Wuih, saya bahagia pol. 😁
Lalu, kenapa bahas mereka?
Saya cuma ingat buku Perennial Marketing. Di buku itu dijelaskan kalau usaha menulis buku memerlukan waktu yang lama. Ngga bisa sistem kebut semalam. Hasilnya akan berbeda. Itu juga yang saya lihat dari Fajar/Rian. Mereka konsisten bermain bulutangkis selama hampir sepuluh tahun. Dari ngga terkenal, sampai akhirnya sekarang jadi pemain unggulan. Kebayang gimana usahanya harus latihan, makan dan tidur teratur, selama sepuluh tahun.
Zo In Sung, salah satu aktor favorit saya, pernah berkata kalau aktor-aktor muda yang dia temui mengingatkan dia sama dirinya dulu. Pada akhirnya semua jadi lebih mudah setelah lewat sepuluh tahun. Tapi butuh konsistensi dan kerja keras untuk bisa bertahan di dunia akting selama sepuluh tahun. Makanya, beberapa kali dia ngasih kado, seperti jaket, untuk aktor-sktor muda yang main film bareng dia. Sungguh teladan ahjussi satu ini. 💖💖💖
Jadi, sebenarnya, tulisan ini untuk penyemangat saya sendiri. Saya tuh baru mulai. Perjalanan masih jauh. Masih perlu sepuluh tahun lagi. Saya masih pemula. Tak paham banyak hal dan takut mengacau. Tapi ya, seperti itu pemula.
Di salah satu episode Wonderplay ketika Lee Yong Dae membahas final All England 2022 antara Ahsan/Setiawan dan Fikri/Maulana, pernah ada percakapan dengan Kim Tae Kwan semacam ini:
Kim Tae Kwan : Ini kondisi yang paling kamu benci, kan?Lee Yong Dae : Hah, kenapa?Kim Tae Kwan : Mereka di posisi 16:16. Kalau kehilangan poin sekali, akan berbuntut kehilangan beberapa poin dan akhirnya kalah.Lee Yong Dae : Nah, iya. Makanya mereka kalah.Kim Tae Kwan : Hahaha...
Lee Yong Dae : Eh, tapi serius, untuk top player seperti Ahsan/Setiawan, mereka tidak peduli kalau kehilangan satu poin. Mereka akan fokus pada langkah selanjutnya untuk mendapatkan poin. Tapi ini sulit untuk pemain muda. Begitu mereka kehilangan satu poin, mental mereka akan goyah dan akibatnya mereka kehilangan lebih banyak poin dan akhirnya kalah.
Sewaktu wawancara setelah pertandingan semifinal All England 2023, Ahsan dan Hendra mengatakan bahwa belum berakhir selama itu belum berakhir. Mereka hanya fokus mengumpulkan poin satu demi satu. Lee Yong Dae pun pernah bilang bahwa dulu, selama lebih dari setahun, dia tidak pernah kalah dari Ahsan/Hendra, begitu dia kalah sekali, selanjutnya akhirnya jadi sering kalah. Ahsan/Hendra sudah tahu apa titik lemah dan bagaimana mengalahkan mereka. Ketika menganalisis permainannya dulu, Lee Yong Dae juga bilang bahwa keberadaan pelatih penting, agar pemain tahu kelemahan mereka dan mereka bisa memperbaiki, "Dulu, sebagai pemain, aku tidak tahu kalau titik lemah kami di sana. Makanya lawan terus menyerang ke sana. Dulu pelatih membiarkan kami karena kami ranking 1. Tapi meskipun ranking 1, kami masih harus terus belajar."
Zo Insung juga pernah ngomong hal serupa. Dia pernah bilang bahwa aktingnya jelek dan dikritik untuk satu film/drama, tapi bukan berarti aktingnya akan jelek terus. Tapi ya udah, gak perlu sedih atau kecewa terus-terusan. Fokus untuk proyek selanjutnya. Proyek selanjutnya bisa lebih bagus dari sebelumnya. Mungkin ini rahasia para master di bidangnya, tidak terlalu fokus pada kesalahan, tapi berusaha terus memperbaiki diri.
Pemain senior lebih bisa melihat gambaran besar dan lebih percaya pada kemampuan dirinya. Dulu, saya pernah bertanya pada dosen pembimbing saya yang seorang psikolog dan peneliti, bagaimana beliau bisa begitu hebat. Jawab beliau,"Lha, jam terbangku sudah tinggi. Persyaratan menjadi psikolog saja jam terbang 1500 jam." Apalagi beliau sudah menjadi dosen, psikolog, dan peneliti selama lebih dari 40 tahun.
Ternyata, kerja keras dan waktu yang akhirnya menjadi saksi.
*Update: Fajar/Rian kemarin baru saja kalah di Spain Master 2023. Hidup memang ada pasang surutnya. Kadang menang, kadang kalah.
0 comments