Hidup dan mati adalah topik yang, entahlah, rasanya paling susah untuk ditulis dan digambarkan. Kematian kembali menyeruak beberapa waktu yang lalu saat saya diberi kabar kematian salah seorang kerabat, seorang paman. Paman saya itu menikah dengan adek ibuk saya sewaktu saya masih SD. Saya tahu benar bagaimana riwayat hidup beliau dan keluarganya. Dan saat beliau meninggal, rasanya seperti menonton film yang sudah selesai, namun ceritanya belum berakhir. Tapi si tokoh utama sudah tidak ada lagi. Tahu bagaimana maksud saya, kan? Film sudah berakhir, credit title sudah berjalan, tapi rasanya ada sesuatu yang belum tuntas. Cerita masih berjalan. Belum selesai. Tidak ada harapan bagi si tokoh utama untuk memperbaiki citra dirinya. Beliau tidak bisa membela diri dan bersuara lagi. Diam. Selamanya.
Itulah tentang kematian yang saya takutkan. Kadang saya iri dengan Inneke Koesherawati yang diberi kesempatan untuk taubat. Beliau sudah puas bersenang-senang di usia muda, main banyak film panas, dan bertaubat di usia tua. Saya takut, jika saya nakal atau macam-macam, bagaimana kalau saya mati pada saat itu? Saya tidak bisa membayangkan bapak saya harus dikabari bahwa saya meninggal di klab malam dalam keadaan melakukan tindakan mesum. Iya, alangkah sedihnya. Saya pun sudah tidak bisa lagi membela diri kenapa saya melakukan tindakan itu. Tidak ada kesempatan lagi.
Jika membincang kematian, ada dua kematian yang paling membekas dalam diri saya. Pertama, kematian kakak kelas sewaktu saya SD kelas 4. Kata orang-orang, kematian kakak kelas saya itu akibat dianiaya bapaknya. Tapi bisa jadi itu hanya gosip tetangga sekitar. Saya mendengar kabar kematiannya sewaktu jalan kaki pulang mengaji bersama beberapa teman. Pada waktu itu, saya lemas dan tubuh saya gemetaran. Saya takut setengah mati. Kenapa? Karena jujur, saya tidak suka dengan kakak kelas saya itu. Di saat semua orang memperlakukan saya dengan baik, dia sinis dan judes pada saya. Saya merasa, dia menganggap saya hanya anak manja tidak penting yang merepotkan semua orang. Saya takut, karena beberapa waktu sebelumnya, saya berharap dan berdoa kepada Tuhan agar dia pergi dan tidak muncul lagi di sekolah. Dan dia benar-benar pergi. Untuk selama-lamanya. Saya takut dia meninggal karena doa saya. Sore itu, saya gemetaran dan ketakutan sekali. Jujur, kematiannya kadang masih menghantui saya. Sekarang, saya tidak berani berkata atau mendoakan orang lain yang jelek-jelek karena saya takut akan terkabul. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa saya dan dia, serta memudahkan jalannya di akherat. Amin.
Kematian kedua ialah kematian kakak angkatan saya semasa kuliah. Beliau meninggal karena kecelakaan motor di rumahnya, Nganjuk (kalau tidak salah). Saya kenal kakak kelas saya tersebut, meskipun tidak cukup dekat. Saya berduka dengan kematiannya. Pada waktu mendengar kabar kematiannya, ada banyak sekali mahasiswa kampus saya yang memutuskan untuk datang ke pemakamannya entah dengan menyewa mobil, kereta, atau bis. Bahkan ada rombongan dosen yang menyempatkan diri diantara kesibukan mereka untuk datang ke rumah duka. Suasana duka benar-benar menyelimuti kampus saya. Padahal, pernah beberapa kali pula mahasiswa atau dosen meninggal, namun suasana duka tidak sekental itu. Jumlah pelayat dari UGM pun banyak. Padahal rumah kakak angkatan saya itu di Jawa Timur. Salah satu teman saya sempat berkata,"Aku tuh mikir lho, kalo aku yang mati, kira-kira jumlah pelayatnya sebanyak jumlah pelayat Mas Trappy ngga ya? Kayaknya sih enggak." Saya cuma menimpali bahwa kalo saya yang mati, jumlah pelayatnya juga tidak akan sebanyak itu. Kakak angkatan saya itu memang baik sekali, supel, dan ramah.
Saya sedih jika mengingat kematian paman saya. Rasanya cerita belum selesai, dan hidup harus diakhiri. Menyesal sekali dengan kematian kakak kelas saya sewaktu SD. Saya tidak mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf padanya. Dan jujur, saya tidak berharap akan ada banyak yang melayat kematian saya. Saya tidak sebaik kakak angkatan saya itu.
Namun saya penasaran, sungguh, bagaimana saya akan diingat orang. Atau jangan-jangan, tidak ada yang ingat bahwa saya pernah eksis. Ngga apa-apa juga sih kalo ngga ada yang ingat. Toh kata Nagabonar, kita juga bakalan dimakan cacing. Ngga ngerti apa-apa. Tapi kalau bisa, saya enggan meninggalkan kisah yang belum purna atau penyesalan.
Chairil Anwar pernah menulis, "Sekali berarti, sesudah itu mati." Jadi iya, saya juga harus melakukan apa yang harus saya lakukan. Biar memiliki arti dulu. Habis itu, dimakan cacing juga terserah. Lalu bagaimana menjadi "berarti" itu? *tiba-tiba pusing.
Chairil Anwar pernah menulis, "Sekali berarti, sesudah itu mati." Jadi iya, saya juga harus melakukan apa yang harus saya lakukan. Biar memiliki arti dulu. Habis itu, dimakan cacing juga terserah. Lalu bagaimana menjadi "berarti" itu? *tiba-tiba pusing.
Mungkin menjadi "berarti" hanya bisa dijawab oleh masing-masing kita. Saya pun masih mencari.
*Untuk sahabat, selamat ulang tahun. Mari menjadi "berarti".
Bandung, 10 September 2016
Kiki