Sebenarnya, banyak sekali dari Korea yang bikin iri. Mulai dari industri kecantikan glass skin dan 13-step skin care mereka, teknologi ponsel lipat yang bisa dilipat selayar-layarnya, sampai peralatan rumah tangga yang luar biasa macam rice cooker, pembersih lantai, kulkas, yang entah bagaimana selalu aneh-aneh dan bikin kagum. Apalagi industri hiburan di sana. Bikin iri sekali. Enggak cuma drama, reality show, film, lagu, bahkan iklan doang digarap dengan bagus sekali. Tentu juga dengan dana yang besar.
Tapi, bukan itu semua yang bikin saya iri sekali banget pada Korea. Saya iri pada tradisi literer mereka. Literatur tertua mereka, Hyangga, merupakan bentuk puisi, berasal dari Kerajaan Shilla (periode 3 kerajaan) pada tahun 57 sebelum masehi. Literatur yang lebih muda juga banyak berkisah tentang sejarah, konflik politik, perang, pengetahuan, obat-obatan dan lain-lain. Tradisi literer ini juga berkembang pesat pada masa dinasti Joseon (1392-1897).
Tradisi literer yang ketat ini juga membuat sejarah mereka jelas dan gamblang sekali. Meskipun bisa juga diotak-atik oleh penguasa. Saya pernah nonton drama saeguk (drama sejarah), The Princess' Man, karakter Moon Chae Won dihapus dari catatan keluarga sebagai anak karena menikah dengan pemberontak. Bahkan cerita drama ini juga bertolak belakang dengan catatan sejarah. Dalam drama ini, tokoh antagonis akhirnya menjadi raja (Raja Sejo) dan tokoh protagonis berada di pihak pemberontak. Pada catatan sejarah, Raja Sejo digambarkan sebagai sosok baik yang bertarung melawan pemberontak yang jahat. Berbanding terbaik sekali, kan? Pada akhirnya, meskipun sukses dalam hal rating, drama ini juga menghadapi tuntutan dari keturunan King Sejo dan para pembantunya yang merasa bahwa leluhurnya dilecehkan dalam drama.
Meskipun diotak-atik, berkat catatan yang jelas, orang-orang di masa sekarang bahkan bisa menelusuri jejak leluhurnya sejak jaman dinasti Joseon. Pernah beberapa kali dalam reality show, beberapa artis ditanya, "Margamu Jo? Jo dari Pyongyang?" atau "Leluhurmu dari mana?". Bahkan, beberapa artis ada yang keturunan pejabat istana, penyair, pendidik, maupun pujangga jaman Joseon.
Hal yang lebih membuat iri hati dan dengki, mereka punya tempat pendidikan pertama untuk masyarakat, yang akhirnya menjadi Sung Kyun Kwan University, sejak tahun 1398, tiga abad setelah Oxford University di UK. Lima abad setelahnya, universitas khusus perempuan, Ewha Womans University berdiri, tahun 1886. Sungguh bikin iri, kan? Sebelum kita punya Budi Utomo, perempuan-perempuan Korea sana sudah boleh sekolah tinggi. Bahkan, kita baru mencanangkan wajib belajar 6 tahun pada 1984 dan wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994. Kita memang ketinggalan berabad-abad dari Korea. Sebenarnya, menurut catatan sejarah, kita punya tempat pendidikan juga pada masa Kerajaan Sriwijaya (menurut catatan I Tsing). Tapi tidak jelas apakah tempat tersebut hanya mempelajari agama ataukah juga filsafat, sastra, dan lain-lain. Selain itu, tidak jelas juga materi apa saja yang diajarkan di sana. Bagaimana metode pengajarannya? Apakah seperti sekolah Plato atau kelas-kelas seperti sekarang? Entahlah.
Sependek pengetahuan saya, literatur kuno di Indonesia kebanyakan berisi catatan sejarah, cerita, filsafat, hukum, sastra, dan sejenisnya. Prasasti pun kebanyakan bertutur tentang hal-hal politis semacam tanah perdikan, kemenangan perang, dan sejenisnya. Saya belum menemukan catatan mengenai ilmu pengetahuan, arsitektur, pengobatan, bumbu dapur, geografi, metereologi, vulkanologi, biologi, astronomi, dan lain-lainnya. Kerajaan Mataram Kuno tinggal dekat Gunung Merapi (gunung berapi teraktif di dunia), bukankah aneh jika mereka tidak memiliki ahli permasalahan gunung ini? Mayoritas penduduk Mataram, Padjadjaran, dan Majapahit hidup bertani, agak mustahil mereka tidak memahami ilmu metereologi, geografi, biologi, hidrologi, ilmu tanah dan tentu saja ilmu pertanian. Pembangunan istana, candi, tempat pemujaan, dan makam tentu saja butuh ilmu arsitektur. Bayangkan jika kita punya catatan lengkap pembangunan Candi Borobudur. Nobel Fisika (dan mungkin juga Kimia) tentu sudah di tangan. Awal-awal Kerajaan Majapahit penuh dengan peperangan, pemberontakan, dan pengkhianatan, pasti mereka memiliki ahli obat atau semacam tabib istana yang handal. Di mana sekarang pengetahuan itu berada? Apakah yang diminum Raja Hayam Wuruk ketika pilek? Apa yang dilakukan Tri Bhuwana Tungga Dewi jika nyeri datang bulan? Atau karena pengetahuannya diwariskan lisan, jadi ya, seperti yang kita lakukan sekarang. Mungkin, ketika Patih Gadjah Mada masuk angin (doi hobi make baju terbuka), bisa jadi dia minum air rebusan jahe. Mirip Tolak Angin pada masa kini lah. Lalu, apa makanan favorit Raden Wijaya?
Pengetahuan yang relatif masih ada, mungkin (kalo di Jawa) hanya dari Kerajaan Mataram Yogya dan Mataram Solo. Mereka masih punya catatan yang tersimpan, misalnya tentang bencana Gunung Kelud meletus pada awal tahun 1900-an, bumbu dapur dan perawatan kecantikan putri keraton (yang dikembangkan menjadi merk Sari Ayu dan Mustika Ratu). Saat ini, banyak literatur peninggalan keraton ini yang didigitalisasi agar tidak rusak dan mudah perawatannya. Terakhir saya tahu, pada tahun 2010, koleksi literatur di Museum Keraton Solo telah didigitalisasi oleh Universitas Leipzig dan sekaligus diterjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Tidak ada bahasa Indonesia. :)) Akhir-akhir ini, juga telah banyak usaha melakukan digitalisasi literatur-literatur kuno yang dimiliki oleh masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Proyek GLAM UIN Jakarta atau Wikipedia Indonesia. Kita tertinggal berabad-abad dari Korea, tapi semoga masih banyak yang dapat terselamatkan.
Balik lagi ke Korea, hal lain yang bikin iri dengki sampai ke ubun-ubun adalah ada beberapa pemimpin mereka yang peduli kepada rakyatnya. Salah satu raja terbaik dinasti Joseon adalah Raja Sejong atau yang diberi gelar Sejong the Great. Bukan hanya memajukan pengetahuan, seni, dan teknologi, Raja Sejong ini juga menciptakan Hangeul, aksara Korea. Raja Sejong membuat huruf yang lebih mudah dan sederhana karena rakyat jelata kesulitan belajar huruf-huruf Cina yang rumit. Pada tahun 1443, raja di Korea sana sudah memikirkan agar semua rakyatnya bisa membaca dan menulis. Saya, pada tahun akhir tahun 1990-an, masih punya kerabat usia awal dua puluhan yang tidak bisa membaca dan menulis. :((
Hangeul lah yang membuat tradisi literer di Korea (Joseon pada masa itu) berkembang di masyarakat. Rakyat biasa pun bisa menulis apa yang mereka tahu dan pikirkan. Apalagi para cendikiawan dan penyair. Pantas lah mereka punya catatan-catatan yang solid tentang sejarah mereka. Mereka punya catatan siapa dokter wanita pertama di sana, siapa ilmuwan terhebat pada masa Joseon, dan lain-lain. Di Indonesia, mungkin kita juga punya. Tapi tidak ada catatannya. Itu lah masalahnya.