Tahun ini merupakan tahun berduka untuk saya. Saya kehilangan dua orang spesial dalam hidup; paman dan kakek. Paman meninggal awal puasa kemarin, akibat kecelakaan lalu lintas. Kakek baru selamatan 40 hari minggu lalu. Kakek meninggal karena sakit jantung dan stroke yang sudah diderita hampir 3 tahun ini.
Dua-duanya adalah kehilangan berat untuk saya. Saya suka pada paman dan kakek. Paman adalah orang yang memiliki cara berpikir paling sehat dalam keluarga besar kami. Pada waktu banyak hoaks tentang pemilihan presiden yang merembet ke agama dulu, paman tidak terpengaruh dan mampu mencerna semua informasi dengan jernih. Bahkan, paman bisa menyadarkan yang lain untuk berpikir lebih jernih. Paman juga mau mendengar pendapat orang yang berbeda dan jika dirasa benar, paman mengakui pendapat tersebut benar dan menerimanya. Bahkan jika pendapat itu disampaikan anak kecil. Paman benar-benar menghargai pendapat kami.
Selain itu, paman juga pengamat yang jernih. Paman tidak mudah terpengaruh omongan orang dan mampu melihat permasalahan lebih dalam. Nyaris tidak terpengaruh emosi. Saya selalu ingin jadi orang seperti paman ketika tinggal dalam masyarakat nantinya.
Orang bilang,"Orang baik mati muda." Paman saya memang orang baik sekali. Paman selalu tadarus (membaca Al Qur'an) di masjid setiap hari usai sholat subuh. Sudah dua tahun ini, paman juga memberikan zakat untuk panti asuhan tiap bulan, hasil dari pekerjaannya berdagang keliling permen, susu, dan makanan kecil lainnya ke warung-warung.
Masa muda paman lebih meriah lagi. Paman adalah salah satu pentolan grup band desanya. Mereka biasa diundang ke hajatan-hajatan di kampung bahkan ke luar daerah. Tiap lebaran, mereka manggung di salah satu objek wisata lokal dekat pemandian alami Gunung Lawu di Kendal. Saat itu, untuk saya yang masih kecil, paman keren sekali.
Paman juga orang yang kuat sekali. Pekerjaan yang paman lakukan banyak sekali. Paman pernah bekerja di Jakarta, tertipu MLM, berjualan bensin eceran, odong-odong, sampai akhirnya sekarang berjualan susu, permen, dan makanan kecil lainnya. Paman pintar sekali melihat kesempatan.
Sekarang, paman sudah tidak ada lagi. Beberapa kali, saya lihat ibuk masih menangisi paman. Ibuk selalu berkata,"Rencana ibuk, kalau kamu nikah nanti, adek-adek ibuk, termasuk paman, akan dibelikan baju kembaran. Mereka akan jadi penerima tamu. Sekarang, Lek Dar sudah ngga ada. Nikahan kamu nanti ngga ada Lek Dar." Padahal sebenarnya, jodoh saya pun belum kelihatan.
Kepergian kakek cenderung lebih mudah kami ikhlaskan. Semua karena kakek sendiri sudah mempersiapkan kematiannya. Jauh sebelum sakit, kakek sudah menyiapkan kain kafan, tikar pandan, uang untuk selamatan 7 hari, 40 hari bahkan sampai mendhak pindho. Bahkan, kakek sudah menyiapkan dan memfotokopi semua persyaratan untuk mengurus pensiunnya. Kakek pernah bilang ke nenek,"Ini surat-suratnya sudah kusiapkan. Sudah kufotokopi. Kalo nanti aku mati, tinggal bawa ini ke kantor Taspen." Saya menangis sewaktu mengurus surat-surat itu. Kertas-kertas fotokopian itu sudah menguning. Bagaimana kakek menyiapkan itu agar kami semua tidak kerepotan setelah beliau pergi.
Kakek buat saya adalah sosok yang kalem dan tenang. Keluarga besar kami kalau bicara keras-keras. Biasanya, kalau main ke Kendal, saya senang dekat kakek. Rasanya ayem dan tenang. Kakek juga punya banyak benda aneh yang dibeli di pasar, mulai dari alat pemijat dari kayu, jam dinding burung hantu, sampai garukan kayu. Saya ingat, ketika saya masih kecil dan bibi saya yang paling muda masih SMK Tata Busana, kakek ingin membelikan bibi lemari. Biar bibi punya lemari gantungan untuk menggantung baju hasil jahitannya yang bagus-bagus. Pada masa itu, harga lemari dua pintu semacam Olympic Rp 99.000. Harga tersebut termasuk mahal untuk kami. Akhirnya, kakek membeli kayu dan membuat lemari sendiri untuk bibi. :))
Pembicaraan penting terakhir saya dengan kakek terjadi 3 tahun lalu pada saat lebaran. Setelah itu, kakek tidak mampu berbicara dengan jelas akibat serangan stroke. Pada saat itu, kakek berpesan agar saya dandan cantik, rambut disisir rapi dan lurus, beli sepatu Bata warna putih, dan pakai dress/baju putih. Mungkin kakek gerah melihat saya yang awut-awutan tiap hari dengan baju dan dandanan ala kadarnya. Padahal, ketiga anak perempuannya (ibuk dan bibi-bibi saya) semuanya cantik-cantik dan modis pada masa muda mereka. Saya tahu dari foto-foto lama. Dan sepatu Bata? Itu merk sepatu terbaik pada masa ibuk dan bibi-bibi saya muda dulu. I cried a lot now.
Kepergian paman dan kakek membuat saya berpikir tentang hidup. Hidup ini ternyata sebentar sekali. Dulu, saya menganggap orang yang bilang 'hidup cuma mampir minum kopi' itu mengecilkan arti hidup. Tapi mungkin benar. Hidup memang cuma mampir ngopi. Sebentar sekali saya bersama paman dan kakek.
Saya jadi berpikir, jika hidup sedemikian sebentar, kenapa harus serius sekali? Mau lanjut sekolah atau tidak, ya akhirnya mati. Mau dapat kerjaan bagus atau tidak, palingan juga cuma bentar. Habis itu mati. Mau menikah atau tidak menikah, ya pada akhirnya mati. Matinya pun sendiri-sendiri pula. Jika hidup ini sedemikian sengsaranya sampai tak tertahankan, lalu mau bagaimana, ya tinggal dijalani saja, toh sebentar lagi juga mati.
Mungkin, yang bisa saya lakukan adalah agar kematian saya tidak menyusahkan dan menyengsarakan orang lain. Bisakah saya seperti kakek saya yang mampu mempersiapkan kematiannya jauh-jauh hari? Mampukah saya mencukupkan bekal untuk akhirat nanti seperti paman? Padahal dosa saya banyak sekali.
Saya cuma bisa pasrah. Gusti, saya ikut apa dawuh njenengan saja. Njenengan mau saya jadi apa di dunia yang cuma sebentar ini, saya nurut.
Al fatehah untuk paman dan kakek saya.