Hidup dengan Depresi

By Miss Rain - 14.40

https://images.unsplash.com/photo-1572726729207-a78d6feb18d7?ixlib=rb-1.2.1&ixid=eyJhcHBfaWQiOjEyMDd9&auto=format&fit=crop&w=500&q=60

 Picture from Esther Wilhelmsson

Rencananya, saya cuma bakalan nulis satu pos saja tentang depresi. Tapi berhubung sudah basah, mending nyemplung sekalian saja. Saya akan coba bagikan beberapa cara coping saya dengan depresi. Apa yang saya tulis ini merupakan metode yang efektif untuk saya. Bisa jadi akan sangat berbeda untuk kasus depresi lainnya. Jadi, sebaiknya memang konsultasi dengan terapis masing-masing dulu. 

Saya akan coba uraikan satu-satu, apa saja yang membantu saya mengatasi depresi, dari saat mulai pertama relapse sampai saat ini:

1. Meminta Pertolongan Ahli (Psikolog atau Psikiater)

Saat pertama saya sadar mengalami depresi, saya langsung ijin ke rumah sakit. Pada saat itu, saya memilih psikiater. Saya takut, kalo saya ke psikolog, bukannya fokus ke terapi, saya malah fokus ke teknik yang dipakai psikolog-nya. Soalnya dulu pernah pas latihan konseling ke teman, saya, sebagai konselee, malah protes,"Kok kamu pakai konfrontasi sih? Harusnya pakai unconditional positive regard. Kamu kan suka humanisme-nya Roger. Kamu harus menerimaku apa adanya. Jangan dikonfrontasi. Jangan bawel. Ngga mau. Ngga mau kalo pakai konfrontasi. Pake humanisme aja." Akhirnya kami ngga jadi konseling. Takutnya kejadian begitu lagi. Saya ngga bisa fokus ke terapi. Padahal sebenarnya, tiap psikolog pasti sudah mempertimbangkan teknik konseling sesuai keahlian dan kebutuhan konselee. Jadi, tinggal percaya saja sama psikolog-nya. Lagi pula, jika yang dibutuhkan intervensi perilaku, lebih cocok memang ke psikolog. Namun, karena pada saat itu, saya juga merasa butuh anti depresi, saya ke psikiater.

Apakah menemui psikiater ini efektif? Iya. Pada tahap awal untuk pertolongan pertama dan mendesak, saya butuh sekali saran dan bantuan ahli. Selanjutnya? Untuk saya tidak terlalu efektif karena kebetulan psikiater saya hanya menyarankan untuk bersosialisasi dan beribadah. Selain itu, kondisi saya sebelum relapse tidak terlalu dibahas, hanya triggers-nya saja yang mendapat perhatian.

2. Matematika

Tidak. Anda tidak salah baca. Benar, matematika yang itu. Saya ingat sekali, pada suatu siang, sahabat saya menghubungi saya untuk membantunya mengerjakan soal latihan matematika untuk seleksi CPNS. Di buku yang dia pelajari, hanya ada jawaban akhir, tidak ada cara pengerjaannya. Sampai beberapa hari kemudian, saya membantunya mengerjakan soal-soal matematika tersebut. Pada saat itu saya sadar bahwa istilah 'cloud above my head' itu benar. Setelah selesai mengerjakan soal-soal itu, rasanya awannya menghilang. Pikiran saya menjadi jernih sekali. Saya baru sadar pada saat itu kalo selama lebih dari setahun, pikiran saya ternyata berkabut. :)

Itu juga pertama kalinya sejak setahunan, saya bahagia menerima pesan dari seseorang. Padahal sebelumnya, saya cemas dan khawatir jika mendapatkan notifikasi pesan masuk di hp atau notifikasi media sosial. Bahkan, saya berganti nomor karena saya tidak mau ada yang menghubungi saya. Orang-orang yang tahu nomor baru saya hanyalah keluarga dan dua orang teman. Pesan berisi soal-soal matematika dan cara mengerjakannya itu akhirnya mampu mengurangi kecemasan saya terhadap notifikasi gawai. Malah tiap hari saya menantikannya. Sungguh, jalannya benar-benar tak terduga, ya? 

Saya pernah membaca suatu artikel, bahwa ketika menghadapi masalah dan sedih, cara menjadi bahagia yaitu mencari kembali diri kita di masa kecil. Melihat apa yang benar-benar membuat kita bahagia ketika kecil. Saya ingat, dulu sewaktu SMP, saya dirundung. Pada masa itu, matematika menyelamatkan saya. Yah, bukan hanya matematika sih, saya punya beberapa teman terbaik, bisa meluk dan main dengan adik-adik tiap hari, bisa berkebun tiap sore, dan nonton Layar Emas atau Bioskop TransTv hampir tiap malam. Hahahaa... Sekarang, hal yang sama terulang. Matematika kembali menyelamatkan saya. Saya merasa aman dan damai ketika bersama matematika. Yah, sekarang akhirnya saya kembali belajar matematika lagi. Demi kesehatan mental. Lagi pula, siapa tahu di masa depan saya direkomendasikan jadi anggota Royal Society. Amin. :))

3. Kuliah Daring (Online Courses)

Melakukan hal disuka sepertinya memang efektif mengurangi gejala depresi. Awalnya, saya ikut kuliah daring karena saya baru sadar bahwa kemampuan komunikasi verbal saya menurun. Ketika berbicara, saya kesulitan menemukan kata yang tepat untuk digunakan melengkapi kalimat yang akan saya ucapkan. Kosa kata saya menurun, baik bahasa Indonesia, Jawa, maupun Inggris. Saya jadi sering berhenti di tengah-tengah pembicaraan karena bingung kata apa yang harus saya pakai. Yah, dampak kurang berkomunikasi dengan manusia. Ditambah lagi, pada saat itu, saya hanya membaca 2 buku dalam kurun waktu setahun. Padahal, saya biasanya menghabiskan 2-3 buku dalam waktu seminggu.

Saya pernah membaca, bahwa pada penderita depresi, fisiologis otak bisa berubah. Padahal, selama ini, saya yakin saya sudah melakukan olah raga fisik untuk menjaga fungsi kognitif. Saya takut mengalami dementia (pikun) di usia muda. Jadi saya ikut beberapa kuliah daring untuk menjaga otak tetap sehat. Biar jaringan benang sinapsisnya tambah banyak. Ternyata, saya suka dan kegiatan ini bikin bahagia. Kelihatan sekali bedanya antara hari-hari saya ikut kuliah daring dengan hari-hari saya tidak ikut kuliah. Saya biasanya kuliah daring di Coursera atau Edx. Oh ya, Coursera dan Edx juga menawarkan Financial Aid untuk kuliah-kuliah mereka. Saya pernah beberapa kali mendapatkannya. Ternyata menderita depresi dan jadi pengangguran bermanfaat juga ya.

Sekarang, saya masih melatih fungsi kognisi, terutama kemampuan berbahasa saya. Saya mulai membangun komunikasi kembali dengan orang-orang. Saya juga mulai banyak membaca buku lagi. Masih ikut kuliah daring juga. Apalagi sekarang, karena pandemi, banyak pelatihan atau kuliah umum yang biasanya hanya tersedia di kota besar atau luar negeri, bisa diakses dengan mudah dari rumah. Saya ingat, saya hanya mengalami relapse ketika kuliah di kelas usai. Saat sibuk belajar, saya baik-baik saja. Mungkin, sebaiknya pikiran-pikiran tidak berguna, yang membebani itu, dimanfaatkan saja untuk tujuan yang lebih besar; mencari pengetahuan. Hahahaha.... 

4. Dukungan Sosial

Ini dukungan yang paling saya sia-siakan sebenarnya. Saya mengalami depresi karena terlalu menekan apa-apa yang saya rasakan. Saya bukan orang yang bisa mengekspresikan apapun. Mungkin ngga hanya suka, duka juga sebenarnya layak dibagi. Saya selalu berpikir saya bisa melakukan segala hal sendiri. Ternyata tidak. 

Sayangnya, saya baru sadar dukungan sosial itu selalu ada baru-baru ini. Psikiater saya benar. Saya harus membuka diri pada orang-orang. Saya bersyukur memiliki keluarga saya. Mereka mungkin tidak paham apa yang saya lalui, tapi mereka memberi ruang dan waktu untuk saya. Ini mungkin yang paling saya butuhkan. 

5. Menemukan Tuhan 

Psikiater saya ternyata benar lagi. Hal yang baru saya sadari yang telah menolong saya yaitu Tuhan. Beberapa tahun ini, saya takut sekali berdoa pada-Nya. Saya dulu memohon sekali agar Tuhan mengijinkan saya untuk lanjut studi. Dengan penuh keajaiban, doa saya dikabulkan. Bahkan sebelum saya lulus S1. Tapi ternyata jadi tragedi. Sejak itu, saya ngga berani minta apa-apa sama Tuhan. Saya takut meminta apa-apa sama Tuhan. Takut jadi bencana lagi. Soalnya, pernah juga saya minta sesuatu sama Tuhan, yang sebenarnya ini iseng aja, dan kemungkinan terjadinya kecil sekali, tapi juga dikabulkan sama Tuhan. Jadi, saya tidak berdoa pada Tuhan karena takut doa saya akan dikabulkan.

Saya pernah membaca kutipan, entah dari siapa, bahwa kedekatan umat dan Tuhannya dilihat dari bagaimana umat memohon sesuatu pada Tuhan. Pas membaca, saya sedih sekali. Saya pingin tetap dekat dengan Dia, tapi saya ngga berani minta apa-apa.

Sampai akhirnya saya sadar sekitar dua bulan lalu. Bencana itu bukan dari Tuhan, tapi dari keputusan saya sendiri. Saya bukan cuma boneka. Saya sadar sepenuhnya sewaktu mengambil keputusan. Lagi pula, permintaan konyol saya yang dikabulkan Tuhan juga sebenarnya bisa jadi bencana yang lebih besar, tapi karena satu keputusan saya (tentu saja atas ijin Dia), tragedi urung terjadi. Jadi, hidup saya jadi begini ya karena keputusan saya. Sudah waktunya saya mengambil tanggung jawab untuk semua keputusan yang saya ambil.

Pada sekitar waktu itu juga, saya membaca twit seseorang yang menulis bahwa shalat 5 waktu itu standar. Ngga perlu lah dibanggakan. Kalau mau lebih dekat dengan Tuhan, harus tirakat, entah dengan puasa sunah, membaca Al Quran, sholat sunah, dan lain-lain. Selama ini, saya mengklaim ke psikiater kalo saya juga ibadah karena saya shalat 5 waktu, tapi ternyata, itu cuma standar aja. 

Balik lagi ke masa SMP, saya ingat, pas SMP saya juga rajin puasa senin-kamis (janjian bareng teman), rajin tahajud, dhuha, dan juga membaca Al Quran. Sebulanan ini saya mencoba tirakat. Bahkan, pernah saya menangis meminta sesuatu pada Tuhan. Dan masih dikabulkan. Tuhan ternyata masih sayang sama saya. Meski sudah bertahun-tahun saya menjauh tanpa berani meminta apapun, ketika saya kembali, tangan-Nya masih merangkul saya. 


two hands

Picture from Toa Heftiba

Bagaimana kondisi saya sekarang? Jauh, jauh lebih baik dari tahun lalu. Kadang saya masih cemas dan khawatir. Kemarin sewaktu mengingat-ingat masa saya menghindari orang, saya kembali jadi cemas waktu dapat notifikasi pesan di hape. Padahal yang wa cuma adik saya. Tapi memang tidak boleh dikubur lagi sih. Harus dibongkar agar ketahuan akar masalahnya. Kita kan tidak bisa memperbaiki apa yang tidak kita tahu. Dan juga apa yang ngga bisa diukur, ngga bisa dilihat perkembangannya. Sekarang, saya sudah berproses untuk unlearning beberapa sikap, perilaku, dan kebiasaan yang bisa memicu stres. Saya menggantinya dengan belajar membentuk sikap, perilaku, dan kebiasaaan yang meningkatkan resilience diri. Ada yang sudah sukses sih. Tapi masih ada beberapa yang gagal. 

Saya tidak mau mengulangi kesalahan saya sebelumnya. Dulu, saya pikir jika permasalahan selesai, maka depresi saya juga sudah beres. Padahal, tidak seperti itu. Fokus seharusnya lebih ke meningkatkan resiliensi (daya lenting) diri. Kita kan ngga bisa menghindari stres. Stres dan masalah akan selalu ada. Jadi daya lenting yang harus ditingkatkan.  Agar jika ada stres yang lebih berat di masa depan, saya mampu bertahan dan tidak mudah rapuh. :)

  • Share:

You Might Also Like

0 comments