Miss Park dan Miss Kim
Tahun 2002, pertama kali saya nonton drama Korea di TransTV. Saya tidak tahu apa judul drama tersebut, sepertinya General Hospital, drama Korea yang dibuat tahun 1994. Tapi entahlah, saya tidak yakin. Bahkan, sewaktu nonton, saya tidak tahu itu drama Korea. Nama-nama yang dipakai pun berbeda dari drama Taiwan, Cina, atau Jepang yang biasa saya tonton. Saya bahkan berpikir itu drama Tibet karena huruf-huruf yang dipakai bentuknya lebih sederhana dari huruf Cina, namun lebih bulat-bulat dibandingkan huruf Hiragana atau Katakana.
Drama tersebut masih berkesan untuk saya karena saya suka dua karakter utama cewek di drama. Saya lupa nama keduanya. Kita sebut saja mereka Miss Park dan Miss Kim. Di drama Korea pada umumnya, biasanya kedua cewek akan rebutan cowok, dan kedua cowok akan rebutan cewek. Adegan macam itu tidak ada di drama ini. Miss Park dan Miss Kim adalah dokter spesialis yang bekerja di Rumah Sakit Umum milik pemerintah. Miss Park adalah dokter spesialis bedah terbaik di seluruh negeri lulusan John Hopkins University. Sedangkan Miss Kim adalah dokter spesialis anak dari universitas tidak terkenal. Karakter keduanya pun berbeda jauh. Miss Park dingin, angkuh, sombong, tidak bergaul, dan cenderung lebih bersikap profesional. Miss Kim ramah, banyak teman dari anak-anak, sampai kakek-kakek, baik hati, rajin menolong, dan lebih berperilaku berdasarkan dorongan hati. Miss Kim suka dan kagum sekali pada Miss Park. Dia selalu menganggap Miss Park dokter panutan.
Latar belakang keduanya pun berbeda. Miss Park anak anggota DPR dan kaya raya. Punya apartemen sendiri. Bahkan dia mengendarai mobil balap untuk mobilitas sehari-hari. Miss Kim sebaliknya, dia tinggal di rumah kecil di wilayah padat penduduk bersama adiknya yang mengalami disabilitas fisik. Miss Kim pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena PTSD akibat diperkosa ayah tirinya.
Urusan percintaan pun berbeda sekali keduanya. Miss Park dikejar-kejar oleh satu cowok sejak SMA (Kisah cinta pada drama Korea pada masa itu memang biasanya fokus pada teman masa kecil, teman SMA, cinta pertama, dll yang akhirnya bertemu kembali pada masa dewasa.) Bahkan, cowok tersebut merelakan mimpinya dan mengikuti Miss Park kuliah kedokteran di John Hopkins selepas SMA. Sekembalinya ke Korea, dia juga ikut Miss Park kerja di rumah sakit umum. Padahal, bapaknya punya rumah sakit besar di Seoul. Beberapa kali, dia memaksa Miss Park untuk pindah ke rumah sakit bapaknya, biar gaji mereka lebih tinggi dan dia bisa jadi direktur/manajer rumah sakit. Tapi Miss Park menolak dan nyuruh si cowok untuk pindah sendiri. Si cowok ini, temenan dekat sama Miss Kim. Dia sering curhat pada Miss Kim jika pusing mengejar-ngejar Miss Park namun selalu dibalas Miss Park dengan dingin atau tanpa respon. Adegan favorit dan paling romantis, tentu saya di episode terakhir, sewaktu si cowok ngetuk pintu ruang kerja Miss Park, masuk, bilang kalo dia sudah lelah ngejar-ngejar Miss Park, dan dia berniat untuk menjadi dokter sukarelawan ke Afrika selama 4 tahun. Waktu itu, Miss Park cuma nengok sambil bilang,"Cuma 4 tahun, kan? Ya udah, aku tungguin." Lalu dia balik lagi kerja. Si cowok cuma iya-iya aja. Lalu keluar ruangan. Loncat-loncat dan nyari Miss Kim buat curhat. :))
Miss Kim juga bertemu kekasihnya sewaktu SMA. Si cowok inilah yang membantu menjaga adik Miss Kim sewaktu Miss Kim dirawat di rumah sakit jiwa. Dia juga tidak lanjut kuliah dan memilih bekerja sebagai pengantar barang untuk membiayai kuliah Miss Kim dan membayar hutang keluarga Miss Kim. Pengorbanannya besar sekali. Tiap hari, dia selalu mengantar Miss Kim pulang pergi bekerja di rumah sakit. Adegan favorit, tentu saja adegan si cowok ini berantem di jalan dengan Miss Park. Entah karena motor bututnya diserempet mobil balap Miss Park, motornya macet ngalangin jalan mobilnya Miss Park, dan lainnya. Mereka teriak-teriaknya total. Di jalanan pula.
Dulu, saat saya 13 tahun, saya selalu ingin menjadi Miss Park ketika sudah dewasa nanti. Dihargai dan dihormati karena profesionalisme. Saya agak malas jadi seperti Miss Kim. Hidupnya menderita sekali. Sejak itu, saya mengusahakan untuk jadi seperti Miss Park? Saya takut, jika tidak seperti Miss Park, saya akan jadi seperti Miss Kim. Apakah saya sudah menjadi Miss Park sekarang? Tentu saja tidak. Jauh sekali malah. Mungkin, saya cuma mampu nyontoh angkuh dan sombongnya dia doang. Pinter dan profesionalismenya kagak. Jadi buat apa?
Photo by Douglas Friedman
Hillary Clinton dan Monica Lewinsky
Jauh sebelum kenal Miss Park, saya sudah lebih dulu kenal Hillary Clinton sebagai sosok wanita yang hebat sekali. Oke, memang ada beberapa kebijakan luar negeri Hillary yang patut dipertanyakan, tapi sebagai manusia, perempuan, istri, ibu, dan ibu negara, dia hebat.
Saya pertama membaca di majalah bagaimana Hillary dan Bill bertemu. Hillary waktu itu sudah populer di lingkungan kampus sebagai aktivis dengan segudang aktivitas. Bill baru datang dari Oxford. Hillary dan Bill bertemu di perpustakaan Yale. Mereka berdua duduk di bangku yang berbeda. Waktu itu, Hillary mendatangi meja Bill dan bilang,"Kamu sudah memandangiku selama 5 menit. Kita harus kenalan." Standing ovation for Hillary!
Salah satu alasan saya mengagumi Hillary adalah bagaimana dia merespon kritik. Bahkan sampai sekarang, tahun 2020, kritik untuk dia masih saja ada. Pada waktu baru menikah dengan Bill, dia dicerca karena pindah partai ke Demokrat, padahal ayahnya petinggi partai Republik. Dia dianggap hanya ikut suami saja, padahal masa-masa akhir kuliahnya, Hillary sudah lebih condong ke Demokrat. Lalu dia juga dihina-hina sewaktu tinggal di rumah kecil dan sederhana di Arkansas, padahal biasanya rumah keluarga Rodham besar-besar. Lha, gimana tho, apakah karena rumah suaminya kecil dan sederhana, Hillary harus tinggal di rumah Pak Lurah Arkansas sana? Bingung, kan?
Sewaktu Chelsea masih remaja dan pacaran dengan seniman jalanan, Hillary juga disalah-salahkan publik karena dianggap ngga setuju dan menggerakkan secret service officers untuk menggebrek rumah si cowok yang mau menjual foto-foto mesra dia dan Chelsea ke majalah. Jangankan Hillary, ibuk yang orang biasa aja juga bakalan ngomel berhari-hari kalo saya punya foto mesra sama cowok tidak dikenal. Apalagi kalo si cowok berniat nyebarin. Ibuk pasti juga bakalan ngamuk ke rumah tuh cowok. Yah, mungkin salahnya Hillary make secret service untuk urusan pribadi. Harusnya dia ngelabrak si cowok ditemari ibu-ibu pengajian sekitaran gedung putih. Pasti aman.
Ngomongin kritik terbesar, tentu saja skandal Bill dan Monica ngga bisa kelewat. Hillary yang diselingkuhin suaminya itu bahkan dikritik karena memaafkan Bill. Dia dianggap terlalu ambisius dan menginginkan jabatan first lady. Sepertinya publik kecewa karena Hillary gampang banget memaafkan Bill. Yah, tapi kalo suamimu presiden dan dia selingkuh, kayaknya memang kamu ngga punya privilege untuk sedih lama-lama, berdrama, minta dipulangkan ke rumah orang tua, bahkan bercerai. Mau ngga mau harus memaafkan. Perasaan harus dikorbankan, diurus nanti saja kalo jabatan berakhir. Soalnya ada banyak rakyat yang harus diurusin. Bayangkan, berapa banyak hal yang keteteran kalo presidennya malah sibuk bolak-bolak ke pengadilan ngurus cerai kayak artis-artis gitu. Belum lagi diuber-uber paparazi-nya. Hillary juga tidak balas dendam selingkuh seperti pasangan Diana-Charles. Itu satu-satunya tindakan yang paling masuk akal. Tapi kenapa publik kecewa? Mungkin mereka berharap melihat Hillary nyakar Bill lalu jambak-jambakan sama Monica Lewinsky. Penonton kecewa.
Sampai sekarang, Hillary dan Bill pun masih langgeng sebagai pasangan. Sewaktu Hillary mencalonkan diri jadi presiden, Bill juga selalu menemani. Pernah baca, perselingkuhan akan membuat pasangan semakin dekat atau sebaliknya. Tapi entahlah, hanya mereka tahu.
Photo by Damon Winter
Jika membincang Hillary dan skandal perselingkuhan Bill, pasti harus membicarakan Monica Lewinsky. Dulu, saya selalu berpikir bahwa Monica adalah anti tesis dari Hillary. Jika Hillary konservatif, pintar, membosankan; Monica muda, seksi, dan menarik. Saya mengenal Monica hanya lewat majalah. Saya hanya tahu Monica sedikit gemuk, intern di gedung putih, berambut hitam panjang, cantik, gaun biru bernoda sperm* (Ya Allah, saya baca skandal ini pas SD), dan seksi. Sewaktu, nonton Love Actually, saya bahkan mengidentifikasikan mbak-mbak yang disukai Hugh Grant sebagai 'Monica Lewinsky' sekali.
Saya mengikuti berita mengenai Monica Lewinsky akhir-akhir ini. Dia akhirnya terbuka mengenai dirinya atau mengutip kata-katanya,"It's time to burn the beret and bury the blue dress. I, myself, deeeply regret what happened between me and President Clinton. ... I am determined to have a different ending to my story. I've decided,, finally, to stick my head above the parapet so that I can take back my narrative and give a purpose to my past." Pada saat inilah akhirnya saya sadar, saya salah memperlakukan Monica hanya sebagai simbol atau archetipe. Padahal, dia manusia. Dia hanya berbuat kesalahan di usia 22 tahun. Siapa di antara kita yang tidak?
Selama ini, saya memperlakukan sosok Monica Lewinsky sebagai sosok lawan Hillary. Sama seperti Miss Park dan Miss Kim. Mungkin, tanpa sadar, saya membentuk dikotomi-dikotomi dalam pikiran. Hitam-putih, baik-buruk, Miss Park-Miss Kim, Hillary-Monica. Padahal, Hillary dan Monica bisa jadi ada di kelompok yang sama. Mereka berdua sama-sama pintar, cerdas, dan aktif berkegiatan sosial. Lebih lanjut, mereka pernah jatuh cinta dengan orang yang sama. Bukankah ini juga satu alasan yang membuat mereka tidak jauh berbeda. Keduanya kuat sekali menghadapi kritik. Keduanya bisa bangkit dari keterpurukan. Hillary, Monica, Miss Park, Miss Kim, dan juga ibunya Monica Lewinsky (yang menemani dan mendukung Monica di masa-masa sulit) adalah wanita-wanita hebat.
Mungkin, terlambat sekali untuk saya, karena saya baru sadar di usia 30-an, bahwa saya tidak harus memilih antara menjadi Miss Park atau Miss Kim, Hillary atau Monica. Saya bisa menjadi keduanya atau bahkan tidak keduanya. Suka-suka saya. Saya bisa menjadi profesional di bidang saya tanpa menjadi angkuh, arogan, dan dingin. Saya bisa menjadi konservatif, namun juga witty dan seksi.
0 comments