Depresi; Sebuah Pengakuan

By Miss Rain - 15.57

Ini mungkin salah satu pos yang ditulis tanpa saya berpikir panjang. Semakin lama dipikir, rasanya akan semakin sulit untuk menulis pos ini. Apalagi sekarang, saya sudah mampu menulis kembali. Saya akan memanfaatkan tulisan ini untuk meminta tolong. Please reach out. Jika anda menemukan keluarga, teman, atau orang yang anda kenal tiba-tiba menarik diri, menghilang, atau berpura-pura, tolong temani. Jika sulit, tidak perlu tanya alasannya, cukup temani saja. For some cases, you may save lives. 

Saya menderita depresi selama lebih dari satu dekade. Bahkan mungkin seumur hidup. Ketika semuanya benderang, seperti sekarang, rasanya seperti nonton serial detektif. Petunjuk-petunjuk bahwa saya menderita depresi sudah terlihat dan seharusnya saya sadar serta mendapatkan bantuan lebih awal. Tapi saya tidak tahu, begitu pun orang-orang di sekitar saya. 

Petunjuk pertama, ketika awal kuliah S1, kami melakukan interpretasi alat tes SOV (Study of Values) di laboratorium untuk satu mata kuliah. Waktu melihat hasil tes saya, saya sempat berpikir dalam hati,"Ini bahaya." Waktu itu, teman yang duduk di sebelah melihat hasil tes saya kemudian melihat saya beberapa detik. Dia tahu. Sewaktu menyerahkan hasil tes ke mbak asisten praktikum, dia melihat hasil tes saya lalu memandangi saya cukup lama. Sepertinya dia ingin bilang sesuatu, tapi tidak jadi. Dia juga tahu. Kami bertiga tahu, tapi tak ada yang membicarakan hal itu lagi. 

Petunjuk kedua, di salah satu mata kuliah, kami mencoba mengisi tes BDI (Beck Depression Inventory). Di antara 40-50-an mahasiswa, saya mendapatkan skor tertinggi. Saya lupa, 32 atau 37. Pada waktu itu, skor teman-teman yang duduk di sekitar saya cuma belasan. Bahkan ada yang di bawah 10. Saya pikir skor kami akan terpisah sedikit, tapi ternyata, skor saya bahkan lebih dari dua kali skor mereka. Dosen kami waktu itu kaget sekali. Beliau menanyakan poin-poin nomer berapa saya mendapatkan skor tinggi. Lalu menanyakan bagaimana keadaan dan kondisi saya. Saya berhasil merasionalisasi alasan kenapa saya mendapatkan skor tinggi dan kondisi saya baik-baik saya. Saya memang benar-benar baik-baik saja. 

Pada waktu itu, ada 2 orang di kelas yang mendapatkan skor di atas 20. Saya dan satu orang teman. Teman tersebut mendapatkan skor 27 atau 28. Ketika ditanya dosen, dia mengaku bahwa dia pernah beberapa kali mencoba bunuh diri? Dosen tersebut akhirnya meminta teman tersebut menemui beliau setelah kelas. Beliau menjadwalkan konseling untuk yang bersangkutan.

Bagaimana dengan saya? Tentu saja tidak. Saya ngga pernah ingin bunuh diri. Kehidupan saya baik-baik saja. Bahkan, pada semester selanjutnya, pada kelas lain, untuk tugas akhir saya menulis esai mengenai penggunaan BDI di Indonesia dan kelemahan-kelamahannya untuk mengukur depresi. Apakah mungkin tes BDI yang validitas dan reliabilitasnya sudah diuji dengan ribuan responden itu bisa keliru ketika mengukur saya? Saya masih penasaran, beberapa kali, saya iseng-iseng mengisi BDI pada kondisi dan situasi yang berbeda. Hasilnya, skor saya selalu di atas 30, severe depression. Sesuai hasil skor BDI, saya menderita depresi berat. Tapi saya baik-baik saja. Ternyata, saya menderita high-functioning depression. I was always high functioning until I can not function anymore. 

Kesulitan pertama muncul ketika skripsi. Saya tidak bisa mengerjakan skripsi. Jika bukan karena seorang teman yang tiap pagi menelepon dan bilang bahwa dia akan menunggu saya seharian di perpustakaan dan di malam hari menelepon untuk diskusi tentang statistik, saya mungkin sudah menyerah. Saya mengerjakan skripsi karena teman tersebut. Sungguh, sebenarnya, saya ingin lulus dan skripsi segera berakhir, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Ada hambatan mental tak kasat mata yang menghalangi. Bahkan, saya ikut sebagai partisipan di penelitian dosen pembimbing untuk konseling kelompok. I was desperately looking for a help. I know something was wrong, but didn't know what. I studied in one of the oldest instituions in Indonesia that has Psychology department, but it's that difficult to recognize depression. Pada saat skripsi saya akhirnya beres, saya anggap masalah saya selesai. Saya salah. 

Setelah lulus S1, saya langsung mendaftar S2. Pola yang sama muncul kembali. Saya gagal di tesis. Saya sempat ke psikiater, namun saya hentikan karena saya pikir, permasalahan saya adalah permasalahan akademis. Akan selesai kalau saya menjauhkan diri dari dunia akademis. Saya kemudian bekerja dan berpikir semua masalah sudah beres. Lagi-lagi, saya salah. 

Semuanya meledak sekitar akhir tahun 2017. Saya tidak akan menceritakan apa saja triggers-nya karena terlalu personal. Tapi saya merasa kacau di kerja. Sampai saya ditegur atasan karena selama dua minggu, kinerja saya awur-awuran. Siang itu, saya ke psikiater. Saya mendapat anti depresan. Saya pikir, saya sudah baik-baik saja karena sudah ada psikiater. Saya salah. Di hari-hari berikutnya, saya menarik diri dari orang-orang. Rasanya berat sekali untuk bersosialisasi dan berkomukasi dengan orang-orang. Saya menarik diri. Tidak berkomunikasi lagi dengan orang-orang. Saya tidak tahu kenapa melakukan ini. Saya hanya takut dan tidak bisa menghadapi orang-orang. Saya memfokuskan diri seratus persen untuk pekerjaan. Apakah kinerja saya meningkat? Justru tidak. Di luar, saya kelihatan bekerja keras, tapi sepertinya semua tahu kalau hasil kerja saya semakin memburuk. Saya kacau baik di tempat kerja, kehidupan pribadi, dan sosial.   

Tiga bulan kemudian, saya ambruk. Saya opname karena gangguan fungsi liver. Setelah itu, selama beberapa bulan, tiap minggu saya harus rutin kontrol ke dokter penyakit dalam. Hampir tiap bulan, saya merasa akan pingsan dan mengalami migrain. Pada saat itu, beberapa kali juga pandangan mata menjadi kabur. Saya berpikir bahaya sekali jika naik motor dan pandangan saya kabur. Bahkan, saya pernah salah memberhentikan truk pertamina karena saya pikir itu bus antar kota. Akhirnya, setelah 6 bulan hidup dalam kekacauan, saya memutuskan keluar dari tempat kerja. Waktu itu, atasan menawarkan untuk memberikan hari libur tambahan untuk saya jika saya merasa sakit. Tapi karena pekerjaan saya membutuhkan naik motor dan saya takut terjadi kecelakaan, saya akhirnya memutuskan tetap mundur. Lagi pula, saat itu dokter saya sering marah karena hasil lab saya naik turun. Padahal harusnyanya, kondisi saya sudah normal dalam waktu 3 bulan. 

Setelah berhenti kerja, saya memberikan waktu 3 bulan untuk istirahat, baru mencari kerja kembali. Saya bahkan pindah ke Yogya untuk mencari kerja. Namun, kebanyakan yang saya lakukan hanyalah diam di kos. Saya bahkan menghindari teman sekos. Saya hanya keluar kamar ketika saya yakin orang-orang sudah pergi kerja/kuliah. Kegiatan saya hanya mengurung diri di kamar. Jika dipikir sekarang, saya bodoh sekali ya. Tapi pada saat itu, rasanya itu tindakan paling masuk akal. Terima kasih sekali untuk teman-teman yang main ke kos, mengajak ke mall, menginap di rumahnya, ngerumpi, belanja, dan lain-lain. Jika tidak, saya mungkin tambah depresi karena tidak bersosialisasi dengan manusia sama sekali. 

Sekarang, kondisi saya jauh lebih baik. Akhir-akhir ini, saya merasa bahagia karena setidaknya sudah mampu menulis lagi dan bisa merasa senang ketika meluk dan main dengan adik-adik. Tapi saya khawatir, karena selama satu dekade, saya sering sekali merasa lebih baik, namun tiba-tiba saja keadaan menjadi lebih buruk. Saya menulis ini untuk meminta tolong, jika saya menghilang, menghindar, atau dirasa ada yang salah dengan saya, tolong bantu saya. Saya tahu ada beberapa teman, sahabat, dan sepupu yang masih membaca blog saya. Please save me. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments