Picture from Steve Johnson
Tahun-tahun belakangan ini, saya familiar sekali dengan penolakan. Mulai dari pekerjaan, kegiatan, pelatihan, beasiswa, dan lain-lain. Sebenarnya, saya lebih sering di-ghosting. Tapi esensinya sama lah, saya ditolak. Setelah daftar, ngga ada kabar sama sekali. Terutama untuk pekerjaan dan lomba. Dari (mungkin hampir seratusan) pekerjaan yang saya daftar dua tahun ini, kurang dari 10 pekerjaan yang baik banget ngasih email/wa penolakan. Yang lain, sudah tidak ada kabar. Bahkan ada beberapa pengumuman lomba yang sudah saya tunggu berbulan-bulan, ternyata pemenangnya sudah diumumkan dua tiga bulan yang lalu. Saya saja yang tidak dihubungi karena tidak menang. Dan tidak ada pengumuman resmi di website mereka. Nasib lah ya.
Bukan hanya saya, beberapa teman saya mengalami hal serupa. Ketidakjelasan hidup akibat banyak sekali penolakan yang kami terima. Hidup rasanya berhenti di sini saja. Mandeg. Ngga ada perubahan apa-apa. Salah satu teman saya berpendapat semua penolakan itu terjadi karena visi dan misi presiden bertentangan dengan visi misi hidup dia, sehingga hidupnya terhambat. Dia bertekad untuk pemilu selanjutnya, akan memilih presiden yang lebih fokus pada ilmu sosial dibandingkan sains dan teknologi, sehingga akan banyak beasiswa untuk jurusan sosial. Demikian juga dengan aturan mengenai seleksi CPNS, birokrasi di kampus, dan aturan-aturan pekerjaan yang lain. Dia akan mencari kandidat presiden yang akademisi, bukan praktisi. Dia berargumen bahwa hidup kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan presiden terpilih.
Pendapat teman saya tersebut, bisa jadi benar. Tapi rasanya kalo nunggu presiden yang benar-benar oke terpilih di Indonesia, saya ngga sabar. Jadi saya lebih setuju, jika sekarang hidup saya memang sedang di bawah saja. Saya baru ingat, pada awal kuliah, saya mendaftar banyak sekali beasiswa, bahkan pernah sampai bapak sepulang kerja harus mengantarkan beberapa dokumen untuk aplikasi beasiswa dari Ngawi ke Yogya, dan saya ternyata ngga dapat beasiswa itu. Saya baru dapat beasiswa kuliah S1 pada semester kedua. Selain itu, selama kuliah, saya banyak mendaftar beasiswa exchange atau kunjungan ke luar negeri, baru pada aplikasi ke-21 dari seluruh beasiswa yang saya daftar dan aplikasi ke-2 beasiswa yang sama, aplikasi saya diterima. Jadi sebenarnya, dari dulu ya hidup saya sudah penuh penolakan juga.
Mungkin, kehidupan mudah, semua aplikasi saya diterima, terjadi sekitar tahun 2012-2015. Jika saya mendaftar program/kerja yang sama di tahun-tahun sebelumnya, sepertinya aplikasi saya akan langsung masuk tempat sampah. Tapi pada tahun-tahun ini pun saya ditolak oleh UNESCO dan UN YPP. ;))
Apa yang terjadi di tahun 2012-2015? Banyak. Saya kuliah Bahasa Inggris selama tahun 2010-2012. Skor TOEFL saya untuk pertama kalinya mencapai angka di atas 500. Bertahun-tahun sebelumnya, skor TOEFL saya selalu berkisar antara 475 sampai 490-an. Tidak pernah menyentuh angka 500. Sedih sekali, kan? Lalu, saya punya koleksi hampir 50-an aplikasi beasiswa, kerja, sekolah, magang, program, dan exchange yang gagal dari 2006-2012. Begitu dibaca-baca lagi, ya Allah, BERANI SEKALI SAYA MENGIRIM APLIKASI SEMACAM ITU!!! Dikirim dengan penuh percaya diri pula. Pengumumannya saya tunggu dengan sepenuh hati pula. Rasanya ingin sembunyi di bawah meja saja kalau ingat. Malu sekali. Mulai dari Bahasa Inggris berantakan, CV yang norak, sampai hal-hal yang ngga relevan yang ikut saya ceritakan buat motivation letter. Super memalukan. Kalau tidak kepepet, waktu itu kayaknya saya ngga akan sanggup baca.
Sekarang bagaimana? Saya berusaha belajar sih dari kesalahan-kesalahan saya tahun-tahun lalu. Saya merasa sudah membuat aplikasi sesempurna mungkin. Tapi ternyata, setahun kemudian ketika saya baca ulang, ya Allah, masih memalukan. Semoga pihak sana diberi kesabaran lebih ketika membaca cover letter saya. Ternyata susah ya, untuk mengetahui kesalahan pada saat dan kondisi kita sibuk mendaftar. Butuh waktu lebih. Ini, sekarang saya usahakan, berusaha memberi jarak agar saya sempat melakukan koreksi ketika mendaftar apapun. Juga menempatkan diri di pihak perekrut. Apa yang mereka inginkan? Saya kandidat yang sesuai atau tidak? Ini juga mengurangi kesedihan saat ditolak nanti. Banyak mendaftar, banyak ditolak, banyak sedihnya. Biasanya, saya memberikan waktu pada diri sekitar 3-4 jam untuk bersedih akibat penolakan kerja. Kalo beasiswa dan sekolah, waktu sedihnya lebih lama lagi karena aplikasi beasiswa tidak ada tiap saat. Hanya ada waktu-waktu tertentu. Harus menunggu tahun depan untuk mendaftar kembali. Sedang untuk pekerjaan, begitu mendapat penolakan, saya bersedih 3-4 jam (bisa juga lebih), kemudian bisa sibuk dengan aplikasi selanjutnya. Yang lima puluh persen kemungkinannya bakal ditolak juga. :))
0 comments