Tabah, Ikhlas, & Tawakal: Pelajaran yang Paling Sulit

By Miss Rain - 15.35

woman standing on cliff raiser her hands

 Picture Joshua Yu

Tanggal 10 April kemarin saya tes IELTS. Dihitung sampai hari ini, sudah lewat 12 hari. Sehari lagi hasilnya akan keluar. Tapi saya masih kepikiran, terutama bagian Speaking. Saya masih ngga bisa konsentrasi dan fokus melanjutkan hidup. Bagaimana kalau hasilnya jelek? Bagaimana kalau tidak sampai 6,5? Bagaimana kalau harus ngulang tes lagi? Dapat duitnya dari mana? Bagaimana kalau saya ngga bisa kuliah tahun ini? Saya punya banyak pertanyaan yang belum menemukan jawab. Rasanya belum bisa tenang, saya masih mengharapkan keajaiban. 

Lepas tes, saya merasa jadi orang yang gagal. Saya merasa sedih dan nelangsa. Saya merasa bahwa jalan yang saya pilih salah sekali. Saya merasa tidak kompeten dan bodoh sekali. Rasanya saya salah memilih karier. Apa saya mesti berbalik dan mulai lagi dari awal? Berjalan pulang dari lokasi tes, saya merasa mengambang. Saya merasa gagal dan tidak mampu. 

Sampai hotel, saya coba pecah dan identifikasi emosi yang saya rasakan. Saya sedih karena sepertinya saya gagal di bagian Speaking. Bagian Listening, kelihatannya gampang, tapi salah dengar atau tulis sedikit juga bisa keliru. Sepanjang latihan soal, cuma sekali saya dapat skor 7 untuk Listening. Seringnya saya cuma dapat skor 6,5 atau 6. Nilai saya mengkhawatirkan sekali. Itu permasalahan utama saya pada saat itu. Skor IELTS saya. Bukan kemampuan dan pilihan karier saya. Cuma satu bagian saja yang bermasalah. Tidak perlu masa depan dan self esteem saya ikut terluka.

Tapi memang benar sih, skor IELTS itu sangat mempengaruhi masa depan dan karier saya. Apalagi yang disayangkan, pada tes kali ini, saya mendapatkan dukungan banyak orang, terutama keluarga. Biasanya saya harus tes sembunyi-sembunyi, tapi kali ini, saya mendapatkan restu sepenuhnya. Bahkan saya mendapatkan doa, diantarkan, dan ditambahkan uang saku untuk ke Yogya. Sayang sekali kalau saya gagal. Saya mencoba merangkul kekhawatiran, sedih, dan kecewa saya.

Saya sedih dan menyesal karena malam sebelumnya tema yang saya dapatkan sudah saya pelajari. Kok saya masih ngga siap dan Speaking-nya kacau, ya? Bahkan saya sempat praktek Speaking di luar ruangan sambil menunggu giliran tes. Memang sih, dibandingkan bagian yang lain, bagian Speaking memang kurang sekali belajarnya. Saya sudah tiap hari mendengarkan siaran BBC World News selama sebulan. Dua minggu terakhir juga saya uninstall media sosial di gawai dan fokus latihan soal IELTS. Saya juga mengurangi frekuensi mendengarkan lagu-lagu Korea dan menggantinya dengan lagu barat. Saya juga rajin menulis dan membaca artikel berbahasa Inggris. Speaking? Saya memang kurang latihan. Saya sempat ikut kelompok Speaking daring awal tahun ini, namun saya selalu kelewatan jadwal pertemuan mereka. 

Saya sangat berharap datang keajaiban, karena saya sudah belajar giat di bagian lain, semoga saya mendapatkan hasil yang baik. Tapi hidup tidak selalu berjalan seperti itu, kan? Usaha keras belum tentu membuahkan hasil. Apalagi jika dianalisis lebih dalam, ketahuan sekali Speaking saya jelek di samping karena memang kurang latihan, ya karena saya ngga terbiasa ngomong di depan orang saja. Pekerjaan saya setahunan ini dilakukan secara jarak jauh. Komunikasi dengan atasan dan rekan kerja hanya lewat pesan pendek dan email. Jadi ada peer lain yang harus saya perbaiki.  

Saya juga membaca bahwa agama saya berarti ketundukan sempurna. Ternyata sulit sekali ya untuk menunduk dan berserah sepenuhnya. Saya terlalu tinggi hati, sehingga ingin mengatur segalanya. Sungguh, saya sangat ingin menangis di depan-Nya agar yang terjadi adalah apa yang saya inginkan. Tapi bagaimana kalau apa yang saya inginkan tidak sesuai kehendak-Nya? Saya percaya, kehendak-Nya lah yang paling baik. Saya harus mulai kembali belajar merunduk. Belajar menjadi sabar, ikhlas, dan tawakal untuk semua kehendak-Nya. Ternyata, ini tidak mudah.  

Dalam rangka mencari cara menjadi ikhlas, tabah, dan tawakal; saya mendengarkan beberapa ceramah di youtube. Salah satu kiai berkata,"Telah diselipkan ikhlas ke dalam hati hamba-hamba yang Dia cintai". Saya tiba-tiba sedih sekali. Jauh lebih sedih dari pada gagal IELTS. Saya ngga ikhlas. Cuma hamba-hamba yang dicintai Tuhan yang bisa ikhlas. Apa saya ngga dicintai Tuhan? Bagaimana caranya agar menjadi dicintai Tuhan? Jawabannya adalah kembali, menunduk, dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tanpa ingin telihat, mendapat balasan, atau merasa puas/merasa dekat. Bismillah.  

  • Share:

You Might Also Like

0 comments