Melepas Kemelekatan

By Miss Rain - 14.48

silhouette of man during sunset

 Picture by @synticonic

Saya tidak akan bercerita tentang bagaimana melepas kemelekatan dengan manusia. Itu saya belum mampu. Dengan benda, saya sedang berusaha. Tapi agak susah sih, saya masih menyimpan semua pakaian, dress, dan kebaya yang sudah lama tidak saya pakai. Malah beberapa ada yang labelnya belum saya copot. Tapi untuk disumbangkan/dijual, rasanya masih sayang. Siapa tahu minggu depan saya diundang gala dinner di Buckingham atau dapat Nobel, minimal saya punya baju untuk dipakai dan tidak kelabakan beli baru. 

Saya akan cerita tentang motor yang baru dijual dua bulan lalu. Motor itu adalah kenangan yang sangat penting buat saya. Saya sudah 20 tahun kukuh tidak akan menjual motor itu, tapi sepertinya waktu perpisahan sudah tiba. 

Motor itu pertama kali dibeli sekitar tahun 1999. Pada waktu itu, motor satu-satunya yang dipunyai bapak adalah Vespa yang sudah dipakai sejak saya kecil. Sekitar tahun 1999, motor Vespa sudah mulai sering rusak. Bapak sering kali harus meminjam motor saudara untuk berangkat ke sekolah atau mengantar adek ke rumah sakit. Ngga enak terus-terusan minjam, akhirnya kami memutuskan untuk membeli motor. Pada waktu itu, gaji guru sangat kecil. Kami ngga mampu beli motor baru atau bahkan bekas sekalipun. Untunglah pada masa itu pertama kali ada kredit motor seperti masa sekarang ini. Pada masa itu, kalo tidak salah judul programmnya Bakti untuk Guru atau semacam itu. Ya sudah, akhirnya kami beli motor yang paling murah, Yamaha Sigma tahun 1999/2000 dengan sistem kredit dan dicicil selama 5 tahun. 

Motor sudah ditangan, tapi kami jadi hidup ngirit sekali. Tiap awal bulan, dari amplop gaji bapak, sepertiga disisihkan untuk bayar cicilan motor, sepertiga untuk biaya obat adek, sepertiga untuk biaya hidup kami sekeluarga. Bahkan uang saku saya lebih sedikit dari teman-teman saya. Meskipun jarak sekolah-rumah hampir 10 km dan saya bersepeda, jarang sekali saya mampir jajan di sepanjang jalan. Kalo jajan, saya pilih ke warung dekat rumah. Beli es teh dan ketela goreng. Lebih murah. Bahkan, sewaktu SMA, anak-anak yang lain akan traktiran ke kafe hits Madiun ketika ulang tahun. Ketika giliran ulang tahun saya, ibu akan memasakan nasi, sayur krawu, dan ayam kampung panggang untuk dibawa ke kos dan dimakan bersama. Dulu saya agak malu sih, cuma ya udahlah. Toh, uang saku saya juga memang ngga cukup untuk traktiran ke kafe. Ternyata, teman-teman saya malah suka. Pas tahun ketiga, ketika masuk bulan Agustus, mereka sudah siap-siap akan ada pesta ayam panggang di kos. Mereka suka karena jarang-jarang bisa makan ayam kampung. Makan sepuas-puasnya lagi. 

Selain kenangan bayar cicilannya, motor itu juga punya banyak kenangan karena dulu waktu smp dan sma, saya diantar jemput pakai motor itu. Saya pernah diantar dan hampir telat pakai motor itu. Saya pernah jatuh di pematang sawah sewaktu dibonceng bapak pakai motor itu. Sewaktu sma, ada rumor bahwa motor 2 tak tidak boleh masuk kota Madiun karena polusi. Kami sempat ketar-ketir, awal-awal, bapak biasa lewat jalan-jalan tikus ketika menjemput saya tiap minggu. Tapi ternyata itu hanya rumor. Kami tak harus beli motor 4 tak. Untunglah, kami tak sanggup bayar cicilan untuk dua motor. 

Motor itu juga motor yang saya pakai ketika pertama kali belajar naik motor ketika smp. Cuma, karena saya penakut dan belum kepepet, saya enggan dan takut naik motor di depan. Saya lebih memilih naik sepeda atau jalan kaki saja. Lebih aman, damai, dan sejahtera secara psikologis. Saya penakut sih kalau di jalanan. Jadi ya, saya ngga mau pakai motor. 

Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu, sudah banyak yang berminat membeli motor itu. Mereka kebanyakan tetangga-tetangga saya yang memang sudah tahu sejarah motor itu dari awal. Bapak dan ibu sebenarnya sudah berniat menjual karena kami sudah ada motor baru beberapa tahun lalu. Tapi yang berat saya. Saya ngga berani mengendarai motor lain. Motor itu tidak terlalu tinggi dan tidak bisa diajak ngebut. Sempurna untuk saya. 

Selama hampir dua tahun kemarin, motor itu juga yang menemani saya kerja. Kami tiap hari kepanasan dan kehujanan bersama. Motor itu pernah saya pakai mendaki pegunungan Menoreh. Awalnya ragu bakalan kuat, ternyata cukup kuat. Iya sih, ada insiden saya diklakson Wuling berkali-kali karena saya terlalu pelan dan dia ngga bisa nyalip. Tapi ya mau bagaimana, depan saya ada truk sayur. Jalanan sempit, berkelok-kelok, dan di satu sisi ada jurang. Mau diklakson ratusan kali juga saya bakalan tetap pelan. :) Pernah pula diuber bus patas antar propinsi di jalan Nganjuk-Surabaya. Padahal jalannya lebar dan sepi, tapi si bus tetap jalan di belakang saya sekitar 2-3 meter. Saya deg-degan dan berdoa terus-terusan sambil lihat spion. Busnya kenapa ngga nyalip saja, sih? Mau ngga mau kan saya harus mempercepat motor. Padahal saya sudah minggir banget, tapi busnya juga ikutan minggir di belakang saya. Busnya kelihatan seperti raksasa dibandingkan saya dan motor saya yang kecil. Setelah sekitar 3 km, akhirnya busnya mendahulu setelah lampu merah. Saya sengaja berhenti di pinggir dan tidak segera jalan ketika lampu hijau. Biar busnya lewat duluan. Horor sekali. :((

Pengalaman kerja itu juga bikin kenangan sama di Sigma makin banyak. Kami berdua pernah kesasar ke area persawahan dan hutan bambu gara-gara ngikutin google map, lewat jalan tanah luar biasa jelek (yang sepanjang jalan saya berdoa semoga ban tidak bocor karena tidak ada rumah dalam jarak 5 km), naik motor dalam kondisi pandangan tiba-tiba buram dan hampir pingsan, dan naik lereng Wilis lewat jalan-jalan kecil agar tidak terlalu menanjak, dan lain-lain. 

Begitu saya mundur dari pekerjaan, motor Sigma nyaris ngga dipakai lagi. Saya ngga pernah keluar rumah naik motor sendiri. Hanya bapak yang kadang-kadang kerja dengan motor Sigma agar tetap dipakai dan tidak rusak. Kebanyakan, motornya hanya parkir di rumah. Apalagi setelah tempat olinya bocor. Akhirnya, ibuk benar-benar berniat menjualnya. Saya pasrah aja karena ternyata saya ngga bisa diandalkan untuk jaga dan ngerawat motor. Lagi pula, saya memang ngga berniat naik motor. Saya mempertahankan motor itu atas dasar kenangan yang pernah ngantar saya ke sekolah dan bekerja. Tapi kan kalo dianggurin ya bakalan rusak juga. Lebih baik biar dimanfaatkan orang lain.

Awalnya, rencananya itu motor mau dibeli teman adek saya. Katanya mau dibongkar dijadikan motor knalpot berisik. Ibuk setuju, soalnya harga yang ditawarkan lumayan. Saya yang berat, soalnya kasihan kalo dipreteli. Apalagi yang beli masih muda, nanti kalo dia bosan dan butuh motor yang 'benar', maka Sigma-nya bakalan ngga diurusin lagi. Untungnya, si pembeli ini ngga jelas jadi beli atau tidak. Motor saya akhirnya jatuh ke tetangga beda satu rumah dari saya. 

Saya senang sih, si Sigma akhirnya dapat pemilik baru yang sayang sama dia. Iya sih, harga yang ditawarkan ngga terlalu bagus. Apalagi bulan dua kemarin kami baru saja bayar pajaknya. Tapi ternyata, si pembeli ini mau memperbaiki olinya yang bocor dan mengganti jok motornya jadi makin bagus. Si Sigma akhirnya dipakai istrinya yang punya usaha warung di rumah untuk ke pasar tiap hari. Apalagi si suami punya usaha cucian motor, mobil, karpet, dan reparasi kompor. Sedikit-sedikit si suami juga bisa memperbaiki motor. Yang terpenting, mereka sayang sama si Sigma. Pernah sewaktu ibuk pergi ke warung mereka, motor itu dilap-lap. Tetangga saya cerita pas motornya dipakai ke pasar, motor itu ditawar beberapa orang sampai dua kali harga belinya. Mereka bangga dan sayang sekali sama Sigma. Soalnya meski motor 20 tahun lalu, bentuknya dan mesinnya masih bagus sekali. 

Saya turut bahagia sekali Sigma mendapatkan rumah baru yang bagus dan sayang padanya. Rasanya seperti nonton Toy Story sewaktu Andy memberikan mainannya pada anak tetangga ketika dia kuliah di luar kota. :))

  • Share:

You Might Also Like

0 comments