Guru

By Miss Rain - 15.52

child playing game on white ipad 

Picture: Rabo Wunderkind 

 

Saya menulis blog untuk beberapa orang yang pernah menjadi guru saya dalam hidup (dan sekolah, tentu saja). Sepertinya, saya absen menghargai mereka yang sudah mengajarkan saya banyak hal.

Minggu lalu, sahabat saya, Sari, tiba-tiba menghubungi dan mengajak kerja sama Eureka. Sebenarnya, Sari lah yang pertama kali meyakinkan saya untuk mendirikan Eureka. Sari sendiri punya lembaga konsultan yang sudah mapan selama dua tahun lebih. Sari lah yang mengajak kerja sama dengan Eureka. Padahal, kalo dihitung-hitung, ngga ada untungnya sama sekali lho kerja sama Eureka yang masih piyik, ngga terkenal, pengikut sedikit, sistem belum jelas, dan banyak lagi alasannya. Tapi Sari tetap mau kerja sama. Akhirnya, minggu kemarin, Sari mengirimkan proposal kerja sama dan MOU sekalian. Akibat ngga enakan, sebelumnya, saya sudah minta Sari langsung aja kirimkan ke saya materi kerja sama. Tidak perlu repot bikin proposal untuk Eureka segala. Waktu itu Sari membalas,"Ngga apa-apa, kik. Biar kamu bisa belajar juga bagaimana proposal kerja sama. Nanti siapa tahu kalo Eureka mau kerja sama pihak hain." Oh, saya terharu. Sari sampai repot-repot bikin proposal agar saya bisa belajar.

Ini mengingatkan saya pada pengalaman saya bertahun-tahun lalu ketika mengajar anak-anak TK di Leipzig. Di kelas pre-school, anak-anak umur 4-5 tahun duduk di lantai, melingkari meja. Begitu pelajaran usai, guru menawarkan anak-anak untuk bermain di luar kelas, di halaman TK yang ada banyak sarana permainan fisik seperti ayunan, perosotan, jaring-jaring berjalan, kotak pasir, lorong, dan lain-lain. Begitu dibubarkan, suasana kelas kacau. Anak-anak harus merapikan sendiri meja dan bantal duduk mereka. Melihat beberapa anak kerepotan membawa tas dan bantal, saya berinisiatif membantu beberapa anak meletakkan bantal mereka ke dalam kotak bantal. Saat itu, saya langsung ditegur dan dimarahi oleh seorang guru senior. "Apa yang kamu lakukan? Kamu ngga boleh membantu anak-anak meletakkan bantal. Itu bantal mereka. Biar mereka sendiri yang meletakkan bantal mereka. Mereka harus belajar meletakkan bantal punya mereka sendiri. Kalo terus-terusan kamu bantu, mereka ngga bakalan bisa dan jadi bergantung sama kamu. Balikin bantalnya ke mereka!" Menyeramkan sekali dimarahi sama orang Jerman yang galak. Tapi saya jadi ingat. 

Akhirnya, saya menunggu anak-anak ini merapikan bantal mereka. Cukup lama. Beberapa malah ada yang berputar-putar saja. Si ibu guru yang tadi memarahi saya menangkap beberapa anak tersebut, dan mengarahkan jalan yang benar di mana letak kotak bantal. Tidak membantu membawakan/meletakkan bantal. 

Beres merapikan ruang kelas, kami menuju ke ruang loker. Di musim dingin, anak-anak harus memakai mantel dan sepatu ketika bermain di luar. Pada saat itu, saya ngobrol dengan seorang intern (di kelas itu ada beberapa intern dan relawan mahasiswa dari jurusan Psikologi atau PAUD). Pada saat saya curhat, dia sempat tertawa-tawa karena tadi dia juga melihat saya diomeli. Dia menjelaskan bahwa anak-anak memang dididik untuk mandiri. Jika tidak bisa, akan diajari sampai bisa. Kelamaan ngobrol, kami jadi yang terakhir di ruang loker. Saya melihat bagaimana dia mengajari anak-anak membantu mengancingkan mantel dan menalikan sepatu. "Kamu sudah bisa menalikan sepatu belum. Hah, belum? Kemarin kan sudah belajar. Sini tak kasih contoh yang kanan. Nanti kamu talikan sepatu yang kiri ya?", teman saya itu berkata kepada seorang anak laki-laki. Mencontoh teman saya itu, saya mengajari seorang anak yang kesulitan mengancingkan mantelnya. Saya contohkan di kancing paling atas. 

Saya baru berpikir, mengajar itu butuh kesabaran dan tenaga. Sari yang harus meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat proposal. Saya di TK yang harus menunggu anak-anak merapikan bantal, memakai sepatu, dan mantel. Saya pikir, akan lebih cepat kalo saya bantu saja. Kalo saya membantu anak-anak memakai sepatu dan mantel, pasti 15 menit selesai dan mereka bisa segera bermain. Menunggu mereka memakai sepatu dan mantel sendiri butuh waktu lebih dari 30 menit. Tapi ternyata mengajari orang lain memang tidak bisa praktis dan cepat. Harus sabar juga menunggui mereka yang butuh perhatian lebih dan masih bingung. 

Saya pikir, inilah proses mengajar di sekolah yang sesungguhnya. Bukan demi mengejar nilai, tapi memastikan bahwa semua siswa paham dan tidak ada satu pun yang tertinggal. Tapi di Indonesia agak susah penerapannya ya karena jumlah guru yang sedikit. Di TK tersebut, satu kelas diisi 1 orang guru dan 5 orang relawan. Jumlah muridnya? Cuma 8. Kebayang kan bagaimana terkendalinya kelas karena 1 guru hanya mengawasi maksimal 2 murid. Saya juga pernah ke satu SD inklusi di Cologne. Dan meskipun disabilitas anak-anak di sana cukup parah, ada siswa yang bahkan ke kelas dengan ranjang dorong dan selang infus, tapi guru di kelas ada banyak. Satu kelas dengan 6 anak, diajar oleh 1 guru dan 3 relawan. Bahkan ada perawat khusus pula. Kalo fasilitas dan bahan ajar jangan ditanya ya, sudah pasti bagus banget. 

Kembali ke proses belajar dalam hidup, saya pikir, saya harus lebih berterima kasih pada orang-orang yang bersedia meluangkan waktu dan tenaganya untuk mengajari saya selama ini. Saya jadi tidak perlu belajar dari pengalaman saya sendiri. Saya juga tidak perlu keliru atau bingung sendirian. Jika bisa, saya ingin membalas semua itu, dengan mengajarkan apa yang sudah saya peroleh pada orang lain. Semoga saya memiliki kesempatan untuk itu.

Terima kasih banyak.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments