Kok kayak jaman susah saja kamu ngerebus ketela pohon buat makan?
Saya ketawa ngakak menanggapi pernyataan di atas. Lha gimana ya? Saya suka ketela pohon atau yang biasa disebut singkong atau ubi kayu ini. Bukan cuma ketela pohon sebenarnya, saya rajin merebus kentang, ubi jalar, kerai lokal, pisang, kacang tanah, dan lainnya untuk cemilan. Pokoknya apa yang murah di pasar, ya itu yang akan saya angkut untuk direbus. Seringnya sih, ketela pohon atau singkong ini yang paling murah di antara semuanya. Di Bandung, harga sekilo ketela pohon biasanya tidak sampai Rp 10.000. Di Ngawi, Jawa Timur, harga ketela pohon lebih murah lagi, Rp 10.000 sudah dapat 3 kilogram. Entah berapa harga ketela pohon ini di level petani.
Sayangnya, banyak yang menganggap ketela pohon sebagai makanan level rendahan, makanan orang susah. Meski banyak olahan makanan lain yang terbuat dari ketela pohon, seperti tape, utri, sawut, peyeum, dan keripik, namun imej ketela pohon sendiri masih lah sebagai makanan kasta rendahan. Hanya orang susah dan orang dusun yang makan ketela pohon.
Makanan 'Rendahan' Bernilai Gizi Tinggi
Label makanan kelas rendahan untuk ketela pohon kemungkinan besar berasal dari Jaman Penjajahan Jepang. Menurut penuturan beberapa orang tua, pada jaman Jepang, kelaparan terjadi di mana-mana. Jepang banyak menyita dan membakar padi hasil panen penduduk. Akhirnya, rakyat hanya disisakan apa yang ada di kebun. Tanaman ketela pohon yang mudah beradaptasi dan banyak tumbuh di kebun warga menjadi alternatif pangan pada saat itu. Warga mengolah ketela pohon menjadi tiwul, gaplek, sawut, dan lain-lain untuk kebutuhan pangan mereka. Ketela pohon menyelamatkan mereka. Ketela pohon menjadi makanan pengganti beras yang saat itu langka dan mahal. Itulah kenapa ketela pohon identik dengan makanan jaman susah.
Padahal, jika menengok penelitian terbaru, tanaman ketela pohon yang memiliki nama latin Manihot utilissima ini memiliki beberapa kandungan yang bermanfaat, di antaranya memiliki efek farmakologis sebagai antioksidan, antikanker, antitumor, dan menambah nafsu makan. Selain itu, ketela pohon juga memiliki kandungan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin C, zat besi, kalsium, dan serat.
Kandungan Gizi Ketela Pohon per 100 gram
Zat
Gizi
|
Jumlah
|
Zat
Gizi
|
Jumlah
|
Energi
|
154 kkal
|
Vitamin C
|
31 mg
|
Protein
|
1,0 gram
|
Besi
|
1,1, mg
|
Lemak
|
0,3 gram
|
Kalsium
|
77 mg
|
Karbohidrat
|
36,8 gram
|
Serat
|
0,9 gram
|
Sumber : Kementerian Pertanian, 2018
Mempertimbangkan betapa besarnya kandungan gizi yang terdapat dalam ketela pohon, alangkah sayangnya jika bahan pangan ini jarang dilirik masyarakat karena label 'makanan orang susah' yang melekat padanya. Selain inovasi teknologi pengolahan ketela pohon, juga diperlukan perubahan persepsi masyarakat agar ketela pohon mampu menjadi makanan alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan di masyarakat.
Pengubahan Persepsi dan Perilaku Masyarakat pada Ketela Pohon
Selama ini, nilai yang dipersepsi (perceived value) dari ketela pohon adalah makanan jaman susah. Nilai yang dipersepsi ini bisa jadi bukan merupakan nilai yang sesungguhnya dari ketela pohon karena ketela pohon jelas-jelas mengandung nilai gizi yang cukup baik. Persepsi masyarakat yang lebih rendah tersebut disebabkan karena tinggalan masa lampau ketela pohon yang merupakan makanan murah, mudah didapatkan, dan menjadi makanan utama dalam kondisi kelaparan pada masa penjajahan Jepang, sehingga ketela pohon identik dengan makanan jaman susah.
Salah satu cara untuk mengubah persepsi masyarakat mengenai ketela pohon bisa dilakukan dengan mengaitkan ketela pohon dengan hal-hal positif, misalnya nilai gizi, ketahanan pangan, kesejahteraan petani, budaya lokal, dan lainnya. Hal-hal positif ini seiring berjalannya waktu akan mengganti persepsi masyarakat yang mengaitkan ketela pohon dengan makanan rendah. Ketela pohon dapat 'naik level'.
Sayangnya, perubahan persepsi masyarakat saja belum cukup. Perubahan persepsi hanya akan membuat kasta ketela pohon 'naik'. Hanya dengan persepsi, masyarakat belum tentu mau mengonsumsi ketela pohon. Perlu adanya perubahan perilaku bagi masyarakat untuk mengonsumsi ketela pohon.
Salah satu studi yang pernah dilakukan di Stanford University tahun 2017 untuk mengurangi konsumsi daging yaitu dengan mengubah norma. Jika seseorang percaya bahwa saat ini norma yang berlaku telah berubah, orang-orang yang dulunya makan banyak daging mengurangi konsumsi daging mereka, makan orang-orang yang lain pun juga akan mengikuti dan mengurangi konsumsi daging. Studi ini dapat diterapkan untuk mengubah perilaku masyarakat dan meningkatkan konsumsi ketela pohon.
Hal yang pertama dilakukan yaitu dengan membuat norma bahwa orang-orang sekarang ini telah mengubah persepsi dan perilaku mereka terhadap ketela pohon. Mereka banyak mengonsumsi ketela pohon dengan alasan diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan pada beras. Selanjutnya, orang-orang lain yang percaya bahwa memang telah terjadi perubahan norma dalam masyarakat ke arah yang lebih baik dengan mengonsumsi ketela pohon, maka mereka akan turut serta mengonsumsi ketela pohon. Selanjutnya, perubahan perilaku lah yang terjadi.
Hal berikutnya agar perilaku konsumsi ketela pohon tersebut ajeg dan tidak hanya menjadi perubahan perilaku semusim saja, maka perlu kreativitas para kreator makanan untuk menciptakan variasi makanan dari ketela pohon. Inovasi dan kreativitas para penguasa dapur ditantang di sini. Inovasi baru pengolahan ketela pohon ini dapat menjadi pendamping makanan tradisional hasil olahan ketela pohon yang sudah ada di masyarakat. Inovasi bisnis pun bisa dilakukan di sini.
Selanjutnya, bukan hanya ketela pohon, namun hasil pangan lokal lainnya seperti jagung, ubi jalar, talas, kacang-kacangan, dan lain-lainnya. Makanan pangan lokal kita yang mulai ditinggalkan dapat dilirik dan diminati kembali oleh masyarakat. Harapannya, di tanah kita yang kaya ini, kita mampu menjaga ketahanan pangan. Riset dan penelitian lain tentang tanaman pangan lokal lainnya di masyarakat pun perlu dilakukan. Kita tidak hanya akan tergantung pada satu bahan pangan yang apabila tidak ada, kita menjadi lemah dan mati. Ketahanan pangan merupakan pondasi dasar untuk mewujudkan Indonesia Jaya.
Referensi :
http://pangannusantara.bkp.pertanian.go.id/?show=page&act=view&id=16
https://news.stanford.edu/press-releases/2017/10/06/change-behaviorserception-normal/
Selama ini, nilai yang dipersepsi (perceived value) dari ketela pohon adalah makanan jaman susah. Nilai yang dipersepsi ini bisa jadi bukan merupakan nilai yang sesungguhnya dari ketela pohon karena ketela pohon jelas-jelas mengandung nilai gizi yang cukup baik. Persepsi masyarakat yang lebih rendah tersebut disebabkan karena tinggalan masa lampau ketela pohon yang merupakan makanan murah, mudah didapatkan, dan menjadi makanan utama dalam kondisi kelaparan pada masa penjajahan Jepang, sehingga ketela pohon identik dengan makanan jaman susah.
Salah satu cara untuk mengubah persepsi masyarakat mengenai ketela pohon bisa dilakukan dengan mengaitkan ketela pohon dengan hal-hal positif, misalnya nilai gizi, ketahanan pangan, kesejahteraan petani, budaya lokal, dan lainnya. Hal-hal positif ini seiring berjalannya waktu akan mengganti persepsi masyarakat yang mengaitkan ketela pohon dengan makanan rendah. Ketela pohon dapat 'naik level'.
Sayangnya, perubahan persepsi masyarakat saja belum cukup. Perubahan persepsi hanya akan membuat kasta ketela pohon 'naik'. Hanya dengan persepsi, masyarakat belum tentu mau mengonsumsi ketela pohon. Perlu adanya perubahan perilaku bagi masyarakat untuk mengonsumsi ketela pohon.
Salah satu studi yang pernah dilakukan di Stanford University tahun 2017 untuk mengurangi konsumsi daging yaitu dengan mengubah norma. Jika seseorang percaya bahwa saat ini norma yang berlaku telah berubah, orang-orang yang dulunya makan banyak daging mengurangi konsumsi daging mereka, makan orang-orang yang lain pun juga akan mengikuti dan mengurangi konsumsi daging. Studi ini dapat diterapkan untuk mengubah perilaku masyarakat dan meningkatkan konsumsi ketela pohon.
Hal yang pertama dilakukan yaitu dengan membuat norma bahwa orang-orang sekarang ini telah mengubah persepsi dan perilaku mereka terhadap ketela pohon. Mereka banyak mengonsumsi ketela pohon dengan alasan diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan pada beras. Selanjutnya, orang-orang lain yang percaya bahwa memang telah terjadi perubahan norma dalam masyarakat ke arah yang lebih baik dengan mengonsumsi ketela pohon, maka mereka akan turut serta mengonsumsi ketela pohon. Selanjutnya, perubahan perilaku lah yang terjadi.
Makanan olahan ketela pohon.
Sumber : brilicious.brilio.net
Hal berikutnya agar perilaku konsumsi ketela pohon tersebut ajeg dan tidak hanya menjadi perubahan perilaku semusim saja, maka perlu kreativitas para kreator makanan untuk menciptakan variasi makanan dari ketela pohon. Inovasi dan kreativitas para penguasa dapur ditantang di sini. Inovasi baru pengolahan ketela pohon ini dapat menjadi pendamping makanan tradisional hasil olahan ketela pohon yang sudah ada di masyarakat. Inovasi bisnis pun bisa dilakukan di sini.
Selanjutnya, bukan hanya ketela pohon, namun hasil pangan lokal lainnya seperti jagung, ubi jalar, talas, kacang-kacangan, dan lain-lainnya. Makanan pangan lokal kita yang mulai ditinggalkan dapat dilirik dan diminati kembali oleh masyarakat. Harapannya, di tanah kita yang kaya ini, kita mampu menjaga ketahanan pangan. Riset dan penelitian lain tentang tanaman pangan lokal lainnya di masyarakat pun perlu dilakukan. Kita tidak hanya akan tergantung pada satu bahan pangan yang apabila tidak ada, kita menjadi lemah dan mati. Ketahanan pangan merupakan pondasi dasar untuk mewujudkan Indonesia Jaya.
Referensi :
http://pangannusantara.bkp.pertanian.go.id/?show=page&act=view&id=16
https://news.stanford.edu/press-releases/2017/10/06/change-behaviorserception-normal/
0 comments